Mengenal Herman Thomas Karsten beserta Karyanya
Siapa yang tidak mengenal Herman Thomas Karsten, arsitek bangunan dan perancang tata kota besar di Indonesia yang fenomenal. Bagi pecinta bangunan heritage di Kota Malang tentu nama Karsten sudah menjadi bahasan ketika memperbicangkan Bouwplan dan Balaikota Malang. Tapi tahukan siapa sebenarnya arsitek kenamaan ini. Kali ini kita akan mengenal Karsten dimasa muda hingga dewasa.
Herman Thomas Karsten lahir tanggal 22 April 1884 di Amsterdam. Dia memiliki darah campuran Eropa-Jawa, dimana ayahnya berasal dari Belanda dan ibunya berasal dari Jawa Tengah. Berlatang belakang dari keluarga berpendidikan dan terpelajar, hampir semua keluarganya bergelar profesor di berbagai bidang. Kakak wanitanya adalah wanita pertama Belanda yang mempelajari ilmu Kimia. Ayahnya sendiri adalah seorang Guru Besar-Profesor ilmu filsafat sekaligus wakil ketua Chancellor (pembantu rektor) di Universitas Amsterdam.
Karsten lulus dari Technische Hoogeschool (Sekolah Teknik) Delf tahun 1909 dengan predikat cumlaude pada jurusan bangunan. Awalnya dia memilih belajar tehnik Mesin lalu berubah haluan mempelajari tehnik Struktur ketika terjadi perubahan di kampus Delf. Ketika menjadi mahasiswa dia aktif di perkumpulan mahasiswa sosial demokrat STY Social Technische vereenaging van democratische Ingenieur en Architecten. Hal ini bisa berarti Karsten muda sebagai bagian kelompok mahasiswa teknik arsitektur berhaluan demokrasi. Sempat juga menjadi bagian dari pendukung reformasi perumahan rakyat melalui proyek perumahan baru. Kontribusinya pada reformasi perumahan rakyat tertuang pada laporan perencanaan perkotaan di Belanda yang diberi judul Volkshuisvesting in de Nieuwe Stad te Amsterdam (1909) (Perumahan Rakyat di Kota Baru Amsterdam).
Setelah lulus kuliah dan menyandang gelar Insiyur, Karsten sempat menjadi praktisi arsitektur yang cemerlang di Belanda. Sebagai seorang berjiwa Sosialis, dia juga menjadi anggota Socialistische Technische Vereeniging (Asosiasi Insinyur Sosialis). Namun jiwa mudanya tertantang untuk pergi ke tanah kelahiran ibunya di Jawa sekaligus sebagai sikap ketidaksetujuannya atas Perang Dunia I. Sehingga akhirnya keinginan terwujud pada tahun 1914, dia mendarat di Batavia atas undangan Henry Maclaine Pont, teman sekolahnya yang memiliki Biro Pembangunan Henry Maclaine Pont. Sebagai arsitek Maclaine Pont telah banyak memiliki karya, seperti gedung di kampus ITB Bandung, Gerjea Pohsarang di Kediri, Museum Trowulan di Mojekerto. Setahun setelahnya pada tahun 1915, Thomas Herman Karsten membeli Biro Arsitek milik Maclaine Pont.
Karya Herman Thomas Karsten dapat ditemukan jejaknya pada 12 kota di Indonesia termasuk Kota Malang. Kota besar yang menjadi saksi adanya karya Karsten adalah kota Bandung, Yogyakarta, Semarang, Bogor, Padang, Jakarta, Surakarta, Magelang, Madiun, Cirebon, Banjarmasin dan Palembang. Dia menjadi konsultan perencanaan kota untuk Semarang pada tahun 1916–1920 dan tahun1936. Kemudian bertugas di Bogor (Buitenzorg) pada tahun 1920–1923). Dan selanjutnya menjadi konsultan Kota Madiun hanya setahun pada tahun 1929. Selanjutnya dia bertugas di kota Malang pada 1930 hingga tahun 1935. Karsten juga bertugas di Jakarta tahun 1936–1937. Kota Magelang mendapat sentuhannya pada tahun1937–1938, sedangkan Bandung pada tahun 1941 dan selanjutnya kota Cirebon.
Meski keturunan Belanda campuran Jawa, dia laksana inlander (pribumi). Karsten, sebagai seorang arsitek, dia cukup piawai memadukan unsur Barat dan Jawa dalam karya-karyanya. Seperti saat di Solo (Surakarta) dia merancang bangunan Pasar Gede yang dibangun tahun 1929. Selain itu ia juga merancang Gapura Mangkunegaran, villapark Banjarsari, stasiun Solo Balapan, masjid Wustho Mangkunegaran, hingga kawasan lingkar Manahan.
Keinginannya, dalam setiap membangun, suatu bangunan harus ada harmonisasi keserasian dan kenyamanan antara pengguna, lingkungan sekitar, dan indera mata ketika memandang bangunan tersebut. Langgam arsitektur gaya Belanda ia tinggalkan, dimana saat itu kebanyakan para arsitek Belanda hanya ingin memindahkan gaya arsitektur Belanda ke tanah jajahannya, tanpa adanya keterpadukan dengan unsur lokal. Pada tahun 1921, Thomas Karsten memaparkan sebuah Perencanaan Perkotaan Hindia di Kongres Desentralisasi yaitu konsep interkoneksi aktivitas komponen perkotaan (sosial, tehnologi, geografis, masyarakat dll) dalam perencanaan pembangunan perkotaan. Pendekatan dengan memperhatikan dimensi sosial mendapatkan perhatian bagi pemerintah kolonial dan sejawat arsitek yang ada di Belanda.
Beliau juga punya andil besar untuk tata kota di kota Malang. Dia menjadi Konsultan perencanaan kota Malang pada tahun 1930-1935. Konsep garden city adalah konsep yang dia terapkan untuk Kota Malang. Sebut saja kawasan Idjen Boulevard jadi salah satu Mahakarya tata ruang Kota Malang yang masih dapat dinikmati hingga saat ini. Rencana tata kota Bouwplan I – VIII yang andil Karsten merupakan konsep tata kota Malang yang diharapkan bertahan hingga 100 tahun.
Pembangunan wilayah Idjen Boulevard ini sendiri dilakukan oleh Karsten pada tahun 1930-1935 diharmonisasikan perencanaan tata kota yang sesuai kondisi gerografis kota Malang. Bentuk jalan dibuat menjadi boulevard, yaitu jalan kembar dengan pembatas berupa taman indah di bagian tengah antara dua jalan. Di sebelah kanan dan kiri juga diberi pohon Palem Raja untuk mempercantik penampilan dari jalan tersebut. Wilayah tersebut banyak dihuni oleh pejabat Hindia Belanda dan para pedagang hasil pertanian dari Eropa. Rumah-rumah yang ada di jalan Ijen pada masa itu dibangun model villa dengan banyak taman kota disekeliling wilayah jalan gunung-gunung. Sebut saja ada taman Victoria Park, taman slamet, taman malabar dan hutan kota yang berfungsi sebagai bozem di sebelah selatan Pasar Oro-oro dowo.
Sementara itu Budi Fathoni, arsitek senior kota Malang menyampaikan bahwa Karsten mampu merancang Kota Malang dengan memadukan antara konsisi geografis kota yang diapit oleh 3 sungai yaitu sungai Brantas, Amprong dan Metro serta memperhatikan background pegunungan sekitar Malang yaitu Kawi, Arjuno, dan Gunung Malang sehingga harmonis. “Dengan demikian Karsten telah membuktikan ciri-ciri khas kota yang dibangun dengan memadukan unsur tangible dengan intagible, termasuk geografisnya,” ujar kakek satu cucu ini.
Karsten menikah dengan seorang buruh tanam tembakau di lembah Dieng Jawa Tengah benama Soembinah Mangunrejo. Mereka dikaruniai 4 orang anak yakni Regina, Simon, Yoris dan Barta. Selanjutnya Karsten juga turut aktif sebagai pengurus Dewan Kesenian di Jawa Tengah. Dia ikut mendirikan Perkumpulan Kesenian Jawa Sobokartti di Semarang (de Java Institute) pada tahun 1929. Perkumpulan Kesenian Jawa Sobokartti memadukan konsep Eropa dengan schouwburg dengan elemen Jawa.
Pada tahun 1930, Karsten menjadi anggota Bouwbeperkingscommissie atau Komite Pekerjaan Bangunan selanjutnya menjadi anggota resmi Stadsvormingscommissie atau Komite Pekerjaan Perkotaan pada tahun 1934. Di kedua lembaga pemerintah Hindia Belanda itu keahlian Karsten untuk menata kota dan merancang bangunan yang harmonis dengan lingkungannya diakui oleh pemerintah kolonial. Saat menjadi anggota Komite Pekerjaan Perkotaan, dia turut menyusun draf Undang-Undang Perencanan Perkotaan pada tahun 1938. Dimana dalam peraturan tersebut memuat pengaturan bangunan dan kontruksi agar sesuai dengan karakteristik sosial dan geografis setempat, serta sesuai dengan perkiraan pertumbuhannya. Namun draft peraturan tersebut tidak sempat terwujud dalam peraturan karena situasi menjelang Perang Dunia ke II mulai masuk ke hindia belanda.
Dalam dunia pendidikan, Karsten menjadi Lektor Luar Biasa jurusan Planologi di ITB Bandung pada tahun 1941. Saat di kampus ITB tersebut, dia sering berdiskusi dengan Ir, Soekarno, Djojodiningrat dan dr. Radjiman Wedjodiningrat. Tentunya diskusi ini memuat banyak semangat kesetaraan dan pembebasan atas perbedaan disemua hal, mengingat Karsten adalah penganut sosialis demokrat.
Ketika sesaat Jepang masuk tahun 1942, Karsten ditangkap bersama orang-orang Eropa dan dimasukan kamp interneer tentara Jepang di Baros Cimahi. Dia ditangkap karena dianggap sebagai bagian dari bangsa Eropa – Belanda dan kehilangan hak-hak istimewanya. Perasaan tertekan akibat hilangnya hak istimewa ditambah dengan keadaan serba kekurangan, mulai hilangnya persediaan makanan yang berakibat mati kelaparan.
Tentara Jepang juga melakukan pemisahan antar keluarga, laki-laki, perempuan dan anak-anak dipisahkan sehingga keluarga mereka terpecah dan terpisah. Bagi perempuan dan anak-anak ditahan di Kamp rumah interniran Cihapit sedangkan laki-laki ditahan di kamp daerah Baros. Bisa dibayangkan kehidupan Karsten saat di Kamp yang penuh kekurangan dan terpisah dari keluarganya. Sehingga pada akhirnya dia meninggal pada 21 April 1945 atau satu hari jelang hari ulang tahunnya yang ke 61 tahun. Karsten dimakamkan di kerkoff Leuwigajah Cimahi.
Untuk mengenang jasa dan keberadaan Karsten di Malang, bersama komunitas Java Indies pada minggu 28 April 2018 warga kayutangan memutar film The last Prayer. Sebuah film dokumenter tentang kiprah beliau sang perancang kota dan bangunan. Selanjutnya pada 11 Mei 2018, penulis berkesempatan nyekar ke makam beliau di Kierkoff Leuwi Gajah Cimahi di Bandung Jawa Barat. “Sungguh sebuah kesempatan yang luar biasa bagi kota Malang yang telah mendapatkan sentuhan dari seorang Karsten, maestro tata kota dan arsitek bangunan yang fenomel,”ujar Agung H Buana, pengamat sejarah dan cagar budaya yang juga ASN pemkot Malang. Sehingga kedepan adalah tugas semua pihak termasuk warga kota untuk mempertahankan keindahan kota Malang.
sumber : Buku 100 tahun Kota Malang diterbitkan Dinas Kebudayaand dan Pariwisata Kota Malang dan berbagai literature lainnya dan wikipedia https://id.wikipedia.org/wiki/Thomas_Karsten