Komparasi Kisah Pengorbanan yang menawan, Catatan Wibie Maharddhika
ALHAMDULILLAH Malam Senin lalu (/6/25) Arkeolog Sejarawan kebanggaan dan kecintaan Malang Raya Dwi Cahyono memaparkan kisah ritual Hari Raya Idul Adha dengan kisah ruwatan Sudhamala dari Nusantara. Seperti biasa dengan style “merem melek” yang khas, Pak Dwi mengurai detail kedua kisah ritual itu dengan asyik dan gamblang. Dan tentu, panjang kali lebar…..hingga hanya penyimak setia saja yang bertahan.
Saya didhapuk jadi moderator malam itu. Ini mengingatkan kenangan duet kami dalam acara BEDAH PARARATON. Dan kami punya moto kebersamaan “menggali sejarah, memetik hikmah” yang selaras dengan pandangan Sejarawan tersebut. Bahwa setiap peristiwa mengandung pesan moral yang harus ditangkap. Ada makna filosofis dalam setiap histori yang terjadi. Terpenting lagi adalah adanya niat dan tekad dalam setiap sarasehan untuk mawas diri dari pembelajaran sejarah masa lalu guna meningkatkan kualitas kehidupan. Bukan sekedar gelaran acara demi acara untuk menumpuk porto folio dan proposal demi popularitas dan cuan.
Demikianlah bahwa sarasehan di Griya Ajar Citralekha ndalem Pak Dwi walau diikuti tak banyak orang malam itu, namun terasa sekali getaran energi dahsyat mengalir jernih. Apalagi yang dibahas adalah tentang fenomena ketulusan dan pengorbanan. Saya pribadi selalu otomatis terbawa gaya Pak Dwi dan ikut “merem melek” saking berupaya turut menjangkau merasakan kedalaman makna dan alur cerita yang disampaikannya.
Menarik bahwa kisah ruwatan Sudhamala di relief candi candi jaman Majapahit mirip dengan kisah kenabian dalam momentum Idul Adha. Yakni adanya tranformasi fenomena Human Sacrifice menjadi Animal Sacrifice. Nabi Ibrahim AS diperintah ALLAH SWT untuk mengorbankan putranya, yakni Nabi Ismail AS. Namun akhirnya saat detik-detik KETULUSAN dan TOTALITAS pengabdian kedua Nabi itu maujud, maka TUHAN Berkenan Mengganti pengorbanan itu dengan domba dari Surga. Demikianlah pula saat Sadewa hendak dikorbankan di tangan Dewi Durga, maka tiba tiba tergantikan oleh hewan Wiri yang mirip biri-biri. Sebuah kejadian ritual yang ide dasarnya bisa jadi karena faktor pengaruh mempengaruhi, atau bisa jadi karena bergerak secara paralel mandiri.
Banyak pernak pernik fakta arkeologis yang dibahas di sarasehan malam itu. Hingga adanya suasana mistis syahdu yang terjadi dan kami rasakan. Pasalnya saat Pak Dwi mengakhiri paparan tentang ritus korban Idul Adha. Dilanjut Mas Nasai Oinyil Sabrang Panuluh mengupload slide yang menunjukkan relief candi Jajaghu. Tentang kisah Sadewa yang hendak dikorbankan kepada Bathari Durga, tiba tiba angin berdesir dan atmosfir jadi lebih dingin menusuk tulang. Kami pun merasakan suasana semakin khusyuk, khidmat dan nikmat.
Beberapa pesan moral penting yang disampaikan Pak Dwi bahwa ritual pengorbanan adalah simbol totalitas tanpa keraguan dan puncak ketulusan tertinggi manusia. Menyangkut darah dan nyawa yang dikorbankan serta hikmah meraih kebahagiaan dan kelegaan di titik akhir.

Catatan lain bahwa makna istilah KORBAN yang tadinya berupa simbol kedekatan (QURB) kepada ILAHI kini dalam kehidupan sosial lebih banyak bergeser menjadi sebuah posisi yang tidak mengenakkan manusia. Hingga ada istilah DIKORBANKAN dalam arti yang tak nyaman sama sekali. Namun benarkah demikian?
Bagi orang yang senantiasa berjalan dengan nurani dan keyakinan, pengorbanan adalah sebuah rahasia sukacita terdalam jiwa. Posisi seorang Ismail dan Sadewa bukan posisi titah yang menderita. Mereka merasakan keberserahan diri sepenuhnya kepada TUHAN yang didambakan oleh setiap orang yang sungguh sungguh beriman. Bukan keimanan pencitraan. Kehilangan dan kematian bagi mereka adalah fase kebahagiaan, walau jelas bukan sebuah fenomena keceriaan penuh tawa dan senyuman. Manusia yang dikorbankan adalah makhluk yang justru beruntung meraih pencerahan hidup dikarenakan sifat ketulusan dan keberaniannya.
Orang yang sadar berkorban atau dikorbankan biasanya memiliki sifat dan karakter ksatria. Yakni dalam Tripama Watak Satria digambarkan sebagai “Lila lamun kelangan nora gegetun, trima yen ketaman saksering sameng dumadi, trilegawa nalangsa srahing Bathara” (Pertama ikhlas jika kehilangan dan tidak kecewa, kedua menerima jika mendapat serangan kedengkian dari sesama, dan ketiga berlapang dada bercahaya jiwa berserah diri sepenuhnya kepada TUHAN YME).
Pak Dwi menutup uraian bahwa KETULUSAN adalah kunci pengorbanan. Dan transformasi dari ritual korban manusia menjadi korban hewan adalah wujud dari sifat KEMANUSIAAN YANG ILAHI Itu Sendiri. Ini menjadi simpul bahwa keikhlasan berkorban bukan sebuah suasana KALAH, namun justru mengalir MENG-ALAH menuju kemenangan sejati yang dipenuhi kedamaian hakiki. Kebatilan duniawi yang penuh tipu daya dan arogansi akan runtuh pasti oleh jiwa jiwa tulus pengorbanan. Ini yang diistilahkan sebagai “Suradira Jayaningrat Lebur dening Pangastuti”. Waktu yang bersabda, saat NYA yang berbicara.
Walhasil paparan Kamas Dwi Cahyono malam itu serasa sebuah khotbah Idul Adha yang sangat berkelas dalam bahasa dan nuansa yang berbeda. Sedikit sahabat yang hadir menjadi terasa lapang dipenuhi oleh para Malaikat dan Leluhur yang turun mendampingi. Maturnuwun sanget atas pencerahan dari Sang Guru Griya Ajar Citralekha.
