Sekilas Filosofi Bantengan versi Malangan
Pada sejarah perkembangan kesenian Bantengan yang pasang surut melintasi jaman serasa sudah kenyang dengan pengalaman dan pengetahuan hidup berkesenian. Tidak hanya terjadi pada jaman sekarang ini, Bantengan sudah dimainkan sejak lama yaitu melainkan sudah ada sejak Jaman Jenggala, Kahuripan, bahkan konon abad sebelumnya. Hal ini terjadi pada masyarakat agraris yang tak terpisahkan pada simbiosis antara manusia (petani) dengan lingkungannya (sawah dan hewan peliharaan).
Banteng yang dapat dipersonifikasikan dengan Sapi atau Kerbau ini sarat akan nilai. Apalagi jika kita menimbang beberapa tulisan manuskrip para pujangga. Baik yang tertulis di prasasti, terpahat direlief candi, maupun manuskrip layang (lontar), maka dapat berpedoman sebagaimana acuan kita berkesenian bantengan ini khususnya.
Sebagai tuntunan dalam kaweru hidup, kesenian Bantengan mempunyai banyak filosofi. Tidak hanya sekedar memainkan Banteng sebagai seni pertunjukan namun juga mampu menjadi tuntunan kehidupan dalam berkesenian.
Sebagai contoh beberapa alat peraga di seni Bantengan seperti: (a). Tanduk banteng adalah wujud permohonan diri kepada Sang pencipta dengan sikap keteguhan atau sungguh sebagai wujud kuasa dari Sang Maha Kuasa untuk menjadi penguasa di alam semesta. (b). Kepala Banteng adalah wujud tempat pengendalian diri dari bebagai macam keangkaraan di dunia secara ke dalam pada diri pribadi manusia.(c). Klontong (klontengan) adalah wujud sikap kehati-hatian diri dalam menjalani perjalanan hidup, yang selalu berpegangan pada hati suci (Gumantung tanpa centelan). (d). Keranjang adalah wujud sikap yang selalu menimbang hasil sebab akibat, setelah apa yang diperbuat (Kasyunyatan) yang berarti mawas diri.(e).Kain warna hitam adalah wujud dari hidup yang serba misteri, yang kita tidak tahu apa yang akan terjadi nantinya. Sehingga berkewajiban untuk menjalani darma hidup sebagai titah Sang Kehidupan. (f). Gongseng kaki adalah wujud dari tata usaha manusia untuk merubah apa yang sudah menjadi garis laku kehidupannya (Tarian si Hidup).
Selain berupa peralatan, kesenian bantengan tidak lepas dari unsur manusiawinya. Beberapa filosifi dari kehadiran mereka sebagai satu kesatuan ekosistem pertunjukan juga memainkan peranan yang sangat penting.
Seperti (a). Pengerawit dan sinden, wujud dari berbagai macam perubahan dan perkembangan kehidupan. Dimana kita berkewajiban untuk selalau menyesuaikan diri dari peradaban dengan mengikuti perkembangan jaman. (b). Pendekar pengendali kepala bantengan adalah wujud pengendali angkara hidup pada diri dari unsur luar. (c). Among Projo bertindak sebagai aparat keamanan, pelaksana tata hukum yang berlaku. Artinya kita tidak boleh semaunya sendiri, tapi harus selalu menyesuaikan diri atau menempatkan diri. (d). Sesepuh adalah wujud dari pemimpin yang memutuskan segala sesuatu tata kehidupan baik yang sifatnya horizontal dan vertical (Spiritual dan sosial). (e). Pamong adalah wujud dari aparat pemerintahan yang berkewajiban untuk mengendalikan segala tata kemasyarakatan.
Maka bertemunya filosofi manusiawi dengan alat perlengkapan Bantengan akan memberikan simbiosis dan memperkaya makna seni banthengan. Kesenian Bantengan saat ini banyak dipersempitkan dengan diksi Mberot yang popular. Banyak yang harus diketahui dari Mberot ini. Arik Sugianto, pelaku kesenian tradisional menyampaikan bahwa kesenian Banteng “Mberot” adalah kesenian tradisional Revolusi. Kesenian ini mengadopsi bentuk hewan Banteng, Kerbau dan Sapi yang di bentuk sedemikian rupa hingga menjadi bernuansa ekspresi atas kegembiraan. Bentuk tiruan kepala banteng sapi dan kerbau (seni kriya) memiliki ciri khas tersendiri pada kesenian “Mberot” yang sangat berbeda.
Keseimbangan Jogetan yang dinamis salah satu ciri khas pada pertunjukan seni “Mberot”. Gedruk Pindo (hentakan kedua kaki dua kali) serta lambaian kedua tangan ke kanan dan ke kiri dapat membius penonton ikut serta dalam hangatnya suasana pergelaran, menjadi sebuah ikonik pertunjukan pada kesenian “Mberot”. dengan perpaduan Gongseng (kencring) yang di sematkan pada kaki kanan dan kiri, Membuat suasana semakin meriah hingga menimbulkan kegembiraan tersendiri bagi penikmatnya.
Kesenian Bantengan “Mberot” membawa angin segar pagi dunia seni di Malang Raya beserta dinamikanya. Baru sekejab mereka lahir sudah menghasilkan beberapa karya dalam seni pertunjukan. Arik menyampaikan,” diantaranya adalah Lambaian kedua tangan ke kanan dan ke kiri, Bentuk tiruan kepala banteng yang benar-benar ber ciri khusus, Gongseng pada kedua kaki, Gedruk Pindo yang di adopsi dari kesenian jaranan Khas Malang.”
Seperti beberapa seni pertunjukan yang lain, “Mberot” mempunyai sesi di mana penonton dapat menyawer atau sesi “saweran” bukan hal baru bagi seni pertunjukan semisal Tayub, Ludruk, Orkes dan Pergelaran wayang kulit. Pada gelaran wayang kulit biasa di selipkan pada sang dalang melalui celah Kelir wayang, lalu penonton meminta sebuah lagu atau Gending. Sedangkan pada seni tayub juga demikian di sawerkan kepada penari yang di sebut Tandak.
“Mberot” juga banyak di lakukan dalam lingkungan pendidikan seperti Sekolah Dasar, SLTP, SMA dan SMK karena mengasyikkan dan mengandung unsur olahraga seni yang gembira. Merebaknya seni “Mberot” di seluruh wilayah Malang Raya ini dimana sebelumnya seni pertunjukan yang tersekmentasi tertentu akhirnya menjadi sebuah komoditi seni pertunjukan. Namun perhatian lebih oleh pemerintah daerah dalam hal pendampingan secara khusus. Agar mereka lebih berkembang dari segala aspek, serta maju dalam berkesenian berbudaya sangat diperlukan.
Makna Mantra Kesenian Bantengan
Namun demikian kesenian bantengan juga tak lepas dari aktifitas ritual yang dipadukan dengan mantra. Bagi ki Suryo Jago dikatakan pada mantra Jawa kesenian Bantengan yang terdapat cara pengucapan khusus. Mantranya yakni “ Niat ingsun amatak Ajiku si Wisakarma Kakang Kawah, adi Ari-Ari, Getih, Puser sedulurku Papat Kalimo pancer. Sedulurku kang mijil saking marga ina lan sedulurku kang ora mijil saking marga ina, sedulurku kang karawatan lan sedulurku kang ora karawatan, sedulurku kan katon lan sedulurku kang ora katon, sedulurku kang ana kiblat Papat Kalimo tengah lan sedulurku kabeh. Para Danyang lor kidul etan kulon ketemu kalap tak repno tengahe. latar sun mata ajiku ajine wong sak jagat tak ajine nang awak insun kulo.”
Arti dari makna tersebut apabila ditranslassikan ke bahasa Indonesia secara sederhana adalah, Ya Para Danyang dari arah barat, timur, selatan, dan utara bertemu. Saya kumpulkan di tengah lapangan di depan mata saya. Jimat saya dan jimat orang terdahulu saya pakai jimatnya untuk badan saya.
Makna yang terkandung pada mantra kesenian Bantengan ini adalah orang yang memainkan Bantengan, menurut Ki Suryo Jago bahwa pemain harus membaca mantra tersebut untuk mendapatkan ridho dari Allah Swt. Hal ini dimaksudkan agar arwah yang berada di dalam tubuh penari tidak merusak atau mengganggu tubuh dari penari tersebut.
Ki Suryo Jago yang juga pegiat budaya Malangan menyatakan bahwa bantengan yang dulu dan bantengan sekarang jelas memiliki perbedaan. Kalapnya seni Bantengan dulu memang berasal dari pelaku seni yang berilmu dan mempunyai kelebihan. Sehingga pemain yang dalam keadaan kalap, tidak sembarangan orang. Hal ini perlu latihan lama dan ada yg berpuasa untuk mencapai tingkat yg tinggi. Saat ini seolah-olah bermain Bantengan sekarang cukup latihan seminggu sudah bisa menjadi kalap-kalapan.
Namun demikian yang namanya seni tetap harus di beri ruang apresiasi. “Hal ini perlu didukung agar kesenian itu tetap bertumbuh di masyarakat, asal diatur dan ditata agar menjadi lebih baik,”ujarnya. (djaja)