Kisah Bunga Kana Moel Soenarko, seniman lukis Malang
Moel Soenarko adalah seorang seniman lukis senior otodidak yang humble dan sarat akan pengalaman. Pencapaian karir dunia seni dimulainya sejak masa kecil di Banjarmasin. Pelukis senior yang kini berusia 84 tahun ini sempat menceritakan pengalaman masa kecilnya saat bernostalgia di kota Malang pekan ini. Semuanya dimulai ketika dia pertama kali melukis sebuah obyek. Suatu ketika guru sekolah dasarnya meminta dia yang masih kelas 5 itu untuk menggambar bunga Kana. Bagi seorang Moel kecil menggambar Bunga Kana bukan perkara sederhana, dia melihat perspektif lain.
Bahwa dalam menggambar obyek media dua dimensi itu sejatinya gabungan dari layer-layer background. Ketika melihat tanaman bunga Kana di halaman sekolah, dia juga melihat tembok kelasnya lalu pintu serta halaman sekolahnya. Sehingga semua itu diwujudkan dalam sebuah gambar bunga Kana dengan background yang jelas. Tentu saja hal ini membuat gurunya tertegun dan kagum atas karyanya. Beliau juga menyarankan agar Moel kelak dewasa melanjutkan ke sekolah seni lukis atau sejenisnya. Dengan perasaan gembira Moel kecil menceritakan saran gurunya tadi kepada ayahnya seorang Polisi yang tinggal di tangsi. Sudah barang tentu saja, keinginan Moel kecil dan gurunya tadi ditolak oleh ayah. Beliau malah menyarankan untuk sekolah sebagai Insinyur atau Dokter. Hingga sebagai hasilnya dia mengubur keinginan untuk sekolah seni tersebut.
Namun Moel kecil selalu punya cara untuk menyalurkan bakatnya dengan sembunyi-sembunyi. Saat dia bermain-main dekat tangsi tempat tinggalnya, sering kali dia memainkan batang kayu kecil untuk membuat karya dengan kanvas dari lumut yang tumbuh. Pengalaman ini tentunya sangat membekas di hatinya. Dari sanalah dia berkarya menjadi seniman yang peka pada lingkungan.
Ada angka tertentu yang selalu mengikuti kehidupannya. Angka 29 pertama adalah kelahirannya yakni pada 29 Mei 1941 di Banjarmasin. Selanjutnya angka 29 yang berpengaruh adalah 29 Juli 1998 yaitu ketika Nur Cholis, staf suaminya meminta ijin ke Moel Soenarko untuk menggambar rangkaian bunga. Siapa menyangka permintaan ini membuat Moel mulai terbuka untuk menggambar bunga dalam vas yang ada di meja depannya. Tak sampai menghabiskan satu batang rokok Nur Cholis dibuat kaget akan hasil karya Moel Soenarko yang impresif dan colourful. Dengan hasil karya gambar tersebut lalu dilaporkannya ke Bapak Soenarko, atasannya yang saat itu menjabat Kepala BAKN. Tentu saja hal ini membuat kaget suaminya dan akhirnya beliau malah memberikan kesempatan seluasnya untuk Moel berkarya seni.
Angka 29 selanjutnya adalah tanggal 29 November 1998 yakni ketika Moel menunjukan karyanya pada publik dalam sebuah pameran lukis di Jakarta yang diselenggarakan oleh komunitas/ kelompok pecinta seni Angkatan Darat. Pada pameran tersebut dia menampilkan beberapa karya yang sebelumnya diapresiasi oleh Sekretaris Militer (Setmil) Presiden kala itu. Beliaulah yang meminta Mayjen TNI (Purn) Soenarko untuk memamerkan karya-karya lukis Moel istrinya. Sudah barang tentu pameran pertama ini membuka cakrawala berkesenian bagi Moel untuk melanjutkan dan terus berkarya.
Keterkaitannya dengan kota Malang juga jadi penghias perjalanan hidupnya. Dimulai dia yang pernah sekolah di SMAN 2 Malang lalu semua anak-anaknya pun bersekolah di kota yang sama. Bagi anak-anak Moel Soenarko yaitu Maya, Tata, Luki, kota Malang adalah kota kenangan apalagi mereka adalah alumni SMAN 1 Malang dan alumni Corjesu Malang. Pada tahun 2000-2009 dia sempat tinggal di Pondok Blimbing Indah Malang dan menjadikan kediamannya sebagai Rumah Seni Moel Soenarko. Hal ini tidak banyak dijumpai bahwa seorang seniman membuka tumah tinggalnya sebagai galeri. Sehingga dia dengan senang hati setiap saat dapat menemui kolega dan sahabatnya untuk berdiskusi. Suasana kekeluargaan ini menjadikan Moel Soenarko memiliki banyak sahabat di Malang, sebut saja Dwi Cahyono, Bambang AW, Lulut Edi Santoso hingga Simbah Bambang.
Dalam salah satu pameran lukis yang dibuka oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan kala itu Prof. Dr. Fuad Hasan, dia pernah mendapatkan seorang penikmat/kolektor lukisannya untuk sedikit merubah karyanya. Namun dengan tegas ditolaknya meski dijanjikan nilai yang cukup besar saat itu. Sebagai seorang yang beraliran realis humanis bagi Moel seorang pelukis akan melukiskan sesuatu obyek dengan apa adanya dan originial. Bagi Moel yang juga anak polisi, kehidupan yang tegas menjadi bagian dari kesehariannya.
Pada kesempatan lain juga karyanya juga sempat dikoleksi Gubernur DKI Jakarta hingga Walikota Malang untuk lukisan bergambar kondisi kehidupan bawah jembatan ataupun kampung-kampung kumuh. Tak ketinggalan pula bangunan-bangunan heritage yang berada di kota-kota bersejarah menjadi obyek lukisannya. Dia mampu menyampaikan kekumuhan dan realitas hidup ini dengan backgound yang membawa suasana tersebut.
Saat ini diusianya yang tak muda lagi Moel Soenarko juga mendalami lukisan sulam dengan benang halus. Beberapa lukisan karya Van Gogh itu juga sedang dipindahkan menjadi sulaman indah. Memang diperlukan ketelitian dan kesabaran untuk bisa memindahkan karyanya, dan Moel berhasil menjadikannya karya tersendiri. Darah sebagai seniman juga mulai mengalir pada Dwita atau Tata yang selalu menemaninya berkarya, mulai mencari bahan hingga menjadi sebuah karya. Sempat dilakukuan pameran tunggal yang digelar pada 15 September – 14 Oktober 2018 di Lobby Prama Grand Preanger Jalan Asia Afrika Bandung.
Kini sejak 2010 dia memiliki Rumah Seni Moel Soenarko bertempat di Jalan Raflesia no. 12 Pondok Hijau Indah Parompong Bandung Barat. Kegemarannya pada eksplorasi seni juga tak terbatas lukisan media canvas. Beberapa karya tulisnya pun mewarnai kehidupannya. Mulai dari tulisan tentang dirinya hingga puisi indah khas Moel Soenarko. Berikut sebuah karya puisinya yang mampu memberikan inspirasi tertentu.
MENYEIMBANGKAN KEHIDUPAN
sebuah puisi karya Moel Soenarko, 25 Januari 2022
umur dimakan waktu
melambat ritme hidup
merampas kesempatan
tetap menyenangi kesendirian
tetap produktiitas
berhitung dengan diri
penjajahan teknologi
mengintervensi imajinasi
mendikte kesadaran
merenggut kebiasaan
kesederhanaan hidup manusia
semua minta serba cepat
kuantitas, kebaruan, ketenaran
ukuran sukses dan keberhasilan
manusia akan kehilangan
kehati- hatian,kebijakan, kualitas
bahkan menggeser asa
semua dimarjinalkan
diperintah oleh keadaan
nalar pilihan
tersandera, atau
memiliki kendali penuh
atas tubuh, jiwa dan pikiran
berkarya dan menikmati
kebahagiaan bathiniah
memiliki dirinya sendiri. (djaja)