Yongki Irawan, Stempel basah dari Malang, sebuah catatan Abdul Malik
Saya membayangkan jika sebuah kota bergerak tanpa oase kebudayaan akan menjadi kota yang kering, tawar dan ampang. (2013)
Perjumpaan dengan Pak Yongki Irawan kerap terjadi saat saya bekerja sebagai Redaktur Seni dan Budaya di sebuah media online (2011). Jagongan gayeng sembari ngopi pun sering kami lakukan baik di kantor media online tempat saya bekerja di Kawasan Sawojajar Kota Malang dan beberapa tempat ngopi. Yang penting ada colokan laptop, koneksi wifi dan secangkir kopi hitam.
Dalam kesempatan ini saya ingin mencatat tiga topik yang paling sering kami buat bahan jagongan.
Pertama, Wayang Orang Ang Hien Hoo. Berdasar penuturan Pak Yongki Irawan saya menelusuri sejarah wayang orang Ang Hien Hoo di Malang. Media Budaya Pasar Senggol (2013) memuatnya sebagai laporan utama. Media budaya Pasar Senggol lahir dari jagongan gayeng di kantor Dewan Kesenian Malang dan Pak Yongki Irawan terlibat di dalam Media Budaya Pasar Senggol.Nama Pasar Senggol dipilih sebagai bagian catatan sejarah dan merawat ingatan bahwa Jl.Majapahit dulu dikenal publik sebagai Pasar Senggol.
Saya semakin penasaran dengan Wayang orang Ang Hien Hoo. Tulisan tentang Wayang Orang Ang Hien Hoo dimuat di Harian Malang Post, masing-masing: Ang Hien Hoo dan Siauw Giok Bie (24/11/2013), Bung Karno dan Ang Hien Hoo (26/1/2014), Bertemu Bu Shirley Kristiani Widjihandayani (Tjhwa Hiang Nio, 20/11/2016). Terima kasih Sam Bagus Ary Wicaksono sudah banyak membantu untuk memuatnya di Malang Post. Kolom budaya di Malang Post tersebut saya bukukan dengan judul Dari Ang Hien Hoo, Ratna Indraswari Ibrahim hingga Hikajat Kebonagung (penerbit Pustaka Banyumili, Kota Mojokerto bekerja sama dengan Eklesia Prodaksen, Kebonagung Pakisaji Kabupaten Malang, Januari 2016).
Kedua, Nyi Putut.Sependek ingatan saya, Pak Yongki Irawan ingin mengubah mindset masyarakat bahwa Nyi Putut bukan permainan mistik namun dapat dijelaskan secara rasional terkait energi. Untuk mewujudkan itu, Pak Yongki Irawan intens melakukan riset dan studi kepustakaan terkait Nyi Putut. Salah satu mahasiswi Universitas Negeri Malang menulis skripsi tentang Nyi Putut. Kajian terkait Nyi Putut mendapat ruang berekspresi yang maksimal saat Pak Yongki Irawan menjadi Tim Penyusun Pokok Pikiran Kebudayaan Daerah Kota Malang (2018).
Dalam Pokok Pikiran Kebudayaan salah satu obyek pemajuan kebudayaan adalah Permainan tradisional dimana Nyi Putut masuk menjadi bahan kajian. Pak Yongki Irawan dan Nyi Putut aktif tampil mensosialisasikan diri dalam berbagai peristiwa seni budaya, dari Pekan Kebudayaan Nasional di Jakarta hingga perhelatan di berbagai kampung budaya. Meskipun hingga catatan ini saya tulis, Nyi Putut belum berhasil masuk dalam Warisan Budaya Tak Benda, namun Pak Yongki Irawan tak patah semangat. Penyusunan buku Nyi Putut merupakan program yang patut diapresiasi. “Yang tertulis akan abadi, yang terucap akan hilang bersama angin.”
Ketiga, Dewan Kesenian Malang. Dalam berbagai perjumpaan, Pak Yongki Irawan runut bercerita tentang ekosistem seni budaya di Kota Malang, khususnya di era Walikota Malang ‘Ebes’ Sugiyono (1973-1983). Bukan hanya cerita, Pak Yongki Irawan melambari dengan kliping, arsip dan data tertulis yang dijilid rapi. Bahkan ada surat yang berstempel basah yang menyebut sekretariat Dewan Kesenian Malang berada di Gedung Kesenian Cenderawasih Jl.Nusakambangan 19 Kota Malang. Arsip dengan stempel basah tersebut penting bukan karena Pemerintah Kota Malang belum pernah mencabut isi surat tersebut. Namun Gedung Kesenian Cenderawasih telah berubah nama menjadi Gedung Kesenian Gajayana dan sekretariat Dewan Kesenian Malang menempati Gedung di Jl.Majapahit 7 Kota Malang. Inilah awal mula saya menjuluki Pak Yongki Irawan sebagai sosok stempel basah di Kota Malang.
Berdasarkan arsip Anggaran Dasar Dewan Kesenian Malang tertulis: Organisasi ini bernama Dewan Kesenian Malang berkedudukan di Malang, didirikan di Malang pada tanggal 31 Desember 1973 untuk waktu yang tidak ditentukan (Pasal 1). Arsip yang disimpan Pak Yongki Irawan dengan subyek Dewan Kesenian Malang sangat berlimpah. Mulai SK Dewan Kesenian Malang, nomenklatur, susunan pengurus, laporan kegiatan, kliping,foto, anggaran dasar dan anggaran rumah tangga, dan lain-lain. Hingga catatan ini saya tulis, Dewan Kesenian Malang belum mendapatkan SK dari Pemerintah Kota Malang.
Perjumpaan dengan Pak Yongki Irawan mengingatkan saya pada kalimat L’histoire se repete. (sejarah itu terulang kembali).
Terima kasih Pak Yongki Irawan untuk semua informasi seni budaya.Teriring doa tulus, semua aktivitas seni budaya Pak Yongki Irawan membuahkan makna bagi kehidupan.
**penulis seni budaya. Bukunya yang sudah terbit: dari Ang Hien Hoo, Ratna Indraswari Ibrahim hingga Hikajat Kebonagung (2016), Dari Mat Pelor, Sakerah, hingga Hamid Rusdi (2021). Kini menetap di Kota Malang.