Art and Culturehistoryurban malang

Masyarakat Tionghoa Malang di tahun 1900-1949

Entah mengapa ketertarikan untuk mendiskusikan dinamika masyarakat Tionghoa selalu bertepatan dengan perayaan Imlek. Sebagai bagian dari masyarakat di Malang yang memiliki banyak kultur budaya, masyarakat Tionghoa punya kekhasan yang perlu diketahui. Salah satunya adalah sejarah masyarakat Tionghoa Malang di tahun1900-1949 yang mampu bertahan dari masa ke masa. Bermula sejak kedatangan Tionghoa ke daerah Malang, peranan masyrakat Tionghoa selama masa kolonial belanda, masa pendudukan jepang hingga Agresi Militer.

Membaca disertasi R. Reza Hudiyanto, seorang akademisi UM yang menyelesaikan karyanya pada 2009 pada program PS Fakultas Ilmu Budaya UGM, kiranya banyak hal yang dapat dipelajari bagi masyarakat Malang. Disertasi tersebut berjudul “Pemerintah kota dan masyarakat bumiputra kota Malang tahun 1914-1950”. Sehingga dapat diketahui secara detail bagaimana hubungan masyarakat dengan perkembangan pemerintah kota dimasa itu. Beberapa hal yang dapat dipetik dari disertasi tersebut adalah dinamika masyarakat Tionghoa sebagai bagian dari penduduk kota Malang.

A. ERA KLASIK

Sejak kapan kedatangan orang Tionghoa ke daerah Malang secara tepat belum banyak diketahui. Namun banyak dugaan yang bisa didapatkan dari beberapa literature. Pada era sejarah klasik, rombongan tentara Tiongkok Mongol (China) pernah menemui raja Singosari (tumapel ) yakni Kertanegara tahun 1292 dengan mengirimkan utusan. Bukannya disambut dengan baik, namun duta dari kekaisaran cina tersebut malah mendapatkan “oleh-oleh” berupa kuping yang teriris. Hal ini terjadi pada akhir abad ke 13. Peran dari orang Tiongkok Mongol juga nampak saat Raden Wijaya sebagai penguasa cikal bakal Majapahit dapat memanfaatkan kekuatan pasukan Tartar untuk membantu mendapatkan kekuasaan. Tentunya jumlah pasukan Cina ini sangat banyak yaitu berjumlah 20.000-30.000 orang dan merupakan rombongan besar dengan sejumlah kapal perang yang kuat. Awalnya pasukan tiongkok ini bertujuan untuk menghukum Kertanegara raja Singosari terakhir.

Sehingga pada akhirnya mulai banyak kedatangan masyarakat Tionghoa dengan tujuan berdagang dan bersandar di pelabuhan pesisir Jawa seperti kota Batavia, Cirebon, Semarang, Lasem, Tuban, Gresik, Surabaya hingga Pasuruan. Sebagian besar tionghoa yang mendarat di pesisir utara Jawa ini juga menganut Islam sebagai keyakinan disamping agama keyakinan lain seperti budha dan konghucu. Sejak abad 15 itulah gelombang kedatangan komunitas tionghoa menjadi masif khususnya ke tanah Jawa.

B. ERA KOLONIAL BELANDA

Sampai dengan sebelum tahun 1873 di daerah Malang diketahui sudah terdapat penduduk asing yang berasal dari kelompok masyarakat Eropa, Arab, Tionghoa dan Melayu. Dimana adanya Surat Keputusan Residen Pasuruan tanggal 20 Juni 1873 no 3.959 yang menyebutkan bahwa kelompok penduduk asing tersebut dipimpin oleh orang yang berasal dari kalangan etnis mereka sendiri.

Penduduk Tionghoa sendiri diperkirakan sudah hidup dalam kelompok besar di Malang setidaknya sejak tahun 1820. Hal ini ditandai oleh keterangan prasasti pada bangunan Klenteng Eng An Kiong Malang yang menerangkan bahwa bangunan itu berdiri pada tahun 1825 dan dibangun oleh komunitas masyarakat Tionghoa. Keberadaan mereka tidak terlepas dari perkembangan pasar komoditas yang mulai berkembang di Malang. Serta adanya perkembangan perkebunan kopi yang meningkatkan daya beli penduduk. Produk komoditas yang kerap diperdagangkan oleh warga Tionghoa di Malang adalah kopi, tebu atau tembakau yang dihasilkan oleh petani.

Konsentrasi pemukiman warga Tionghoa terkonsentrasi di wilayah Malang barat daya. Dari data kependudukan kampung tahun 1937 menunjukan jumlah warga Tionghoa sebanyak 8.583 jiwa dan warga Belanda sebanyak 10.750 jiwa. Sedangkan warga pribumi sendiri berjumlah 79.886 jiwa. Pemusatan pemukiman warga Tionghoa di kota Malang terdapat di wilayah Kidul pasar, Kotalama, Claket, Sukorejo (Sukoharjo) dan Jodipan (data Kaarverslag der stadgemente malang over 1938).

Penggolongan masyarakat Tionghoa di Malang terbagi dalam 6 suku besar, antara lain suku Fu Qing ( biasanya berdagang textile), suku Kong Hu (biasanya dibidang kayu dan makanan), Suku Hakka (biasanya membuka toko kelontong), suku Hubei (biasanya membuka toko Optic dan dental gigi), suku Hing Hwa (biasanya berjualan sepeda), dan suku Zhang Quan (biasa bedagang palawija). Di Malang selain 6 suku besar tersebut ada sekitar 50 marga atau ‘She” antara lain Go, Lim, Tan, Poo, Lie, Wei, So, Wen, Pan, Xiao, Hong, Tjiang, Song, Xu dan Dan. ( lintas sejarah etnis tionghoa di Malang).

Masyarakat Tionghoa secara umum dibagi dalam 2 bagian yaitu Tionghoa Totok dan Tiong Hoa Baba. Mereka dibedakan dalam perpektif dalam gaya menjalani kehidupan. Banyak diantara mereka hidup makmur dengan adanya relasi khusus dengan gemeente Malang. Kelompok Tionghoa ini juga membangun sekolah dan fasilitas pendidikan. Salah satunya adalah keberadaan Hollandsch Chineesche School (sekolah rendah tionghoa) yang mendorong masyarakat Tionghoa lebih berpendidikan dibanding warga bumiputera.

Masyarakat Tionghoa lebih nyaman tinggal secara berkelompok di satu kawasan yang disebut Pecinan. Pengelompokan ini diatur gemeente dinamakan Wijk tionghoa. Mereka bekerja keras dan akhinya menjadi komunitas Pasar Besar di Malang. Banyak juga menggabungan antara hunian dan tempat usaha. Konsep perpaduan toko dengan rumah tinggal ini dibawa oleh orang Tionghoa sejak dinasti Sung China (960-1127) juga dikenal dengan sebutan ruko yakni rumah toko.

Untuk menjaga stabilitas keamanan dan ketertiban koloni orang Tionghoa di kawasan Pecinan, maka pemerintah kolonial menunjuk Petugas keamanan yang diberi pangkat Luitenant, suatu jabatan militer Belanda dan pemberian pangkat bersifat tituler. Sehingga ditunjuklah seorang keturunan bangsawan Tionghoa yang terpandang saat itu yaitu Kwee Sam Hwai yang biasa disebut Luitenant Kwee. Beliau juga turut serta menjadi inspirator berdirinya Klenteng Eng An Kiong (berarti Istana Kedamaian Abadi) pada tahun 1825 bagi masyarakat Tionghoa. Konon Liutenant Kwee berasal dari Sumenep Madura dan merupakan keturunan ke 7 dari seorang Jenderal pada jaman Dinasti Ming. Saat menjadi Liutenant Tionghoa Malang, Liutenant Kwee dianggap berhasil sebagai pengawas dan berhasil menyelesaikan persoalan dagang, rebutan tanah, serta persoalan lingkungan. Untuk menandai wilayah etnis Tionghoa, Liutenant Kwee juga membangun sebuah Tugu di ruas Pecinanstraat sebelah timur yang melintang di tengah jalan dengan gaya Tiongkok. Dibangun dengan model dengan gerbang setinggi 12 meter dengan lebar 17 meter. Tugu semacam ini juga ada di kota Semarang, Pasuruan, Cirebon dan Surabaya. Tugu megah ini sebagai ikon etnis Tionghoa sekaligis sebagai tugu kebanggan. Selanjutnya Liutenant Kwee Sam Hwai digantikan oleh Liutenant The Boen Kik.

kampung pecinan di Malang

Selain berdagang, warga Tionghoa peranakan yang memiliki kemampuan literasi lebih dibanding kelompok Tionghoa totok, membuka usaha percetakan dan penerbitan. Kegiatan usaha pers dan penerbitan di kota Malang dipelopori oleh warga Tionghoa. Koran pertama berbahasa melayu di Malang tahun 1907 adalah Tjahaja Timoer yang dicetak oleh percetakan Kwee Khai Khee. Selanjutnya marga Kwee mendirikan Paragon Press untuk penerbitan majalah dan koran pada masa revolusi. Termasuk Pouw Kioe An dan The Bian Tong yang menerbitkan Malang Pos tahun 1946 melalui penerbit Perfectas.

C. ERA PENDUDUKAN JEPANG

Setelah kotapraja Malang berpindah kekuasaan dari Belanda ke pemerintah pendudukan Jepang pada 8 Maret 1942, maka banyak kebijakan gemeente yang berubah. Dibawah Malang Sityo (kotapraja Malang) terdapat kebijakan di bidang kependudukan yaitu melakukan pendaftaran bangsa asing. Pendaftaran penduduk ini terutama bagi warga Eropa-Belanda beserta keturunannya, Tionghoa dan Arab. Hal ini penting dilakukan mengingat tentara pendudukan akan melakukan pemisahan dan penahanan terhadap warga asing. Bagi warga Belanda ditempatkan tahanan rumah interniir di daerah jalan guntur, pangkalan angkatan laut dan gedung sekolah.

Selanjutnya adalah kebijakan Malang Sityo terkait dengan kontrol distribusi barang terutama upaya pencegahan penimbunan barang. Hal ini terjadi karena sumber daya utama saat itu dipergunakan untuk kepentingan Jepang pada perang Asia. Sehingga barang kebutuhan menjadi langka. Sebagai masyarakat pedagang, orang Tionghoa selalu mendapatkan kecurigaan dari polisi kempetai Jepang. Banyak dugaan atas upaya penimbunan barang yang dilakukan oleh pedagang Tionghoa. Akhirnya Malang Sityo bersama perkumpulan Tiong Hwa Siang Hwee didapatkan kesepakatan membagi lokasi distribusi barang. Misalnya khusus komoditi beras akan diurus dari toko di Jalan Klenteng nomor 39 Malang. Namun demikian tetap saja terjadi kasus penimbunan, terbukti dari 203 kasus diketahui ada 142 kasus dilakukan oleh pedagang Tionghoa, 1 kasus orang keturunan Belanda, 5 kasus dilakukan oleh orang Arab dan 52 kasus dilakukan oleh orang pribumi (data catatan dari Keizei Hooin periode Agustus 1942 – Novemober 1943).

suasana pecinan

Sehingga kemudian didirikan Malang Syo Gyo Chu O Kai (Pusat Gabungan Dagang Malang) pada tanggal 9 Februari 1943. Pengurus badan itu terdiri dari semua golongan, Tionghoa, Bumiputra, Arab, Melayu dan India. Dengan tujuan untuk mengontrol distribusi barang komoditi dan harga barang serta mencegah penimbunan yang dilakukan oleh oknum pedagang.

Dalam menjaga isu tentang serangan mendadak dari pihak Sekutu, etnis Tionghoa menyiapkan bunker dan pos-pos bantuan bencana. Beberapa pos bantuan bencana di tempatkan di rumah Han Kang Hoen di Jalan ijen, rumah Siauw Giok Bie di jalan Kayutangan nomor 69, rumah OngKie Hiang di jalan nusamkambangan 40 A dan Pos Tiong hoa Ie Sia THIS di jalan Klenteng 37-39 pimpinan dr, kwee Poo gwan dan dr. Ong Kiem Hok.

Namun disisi lain, pemerintah pendudukan di Malang memanfaatkan fasilitas hiburan milik warga Tionghoa sebagai alat propaganda. Pemutaran film propaganda Jepang pada setiap hari Selasa, Rabu dan Kamis oleh Barisan Propaganda Malang. Propaganda lainnya dilaksanakan di bioskop Grand jalan kabupaten dan bioskop Rex-Theater yang kala itu disebut dengan Kyueikan. Bioskop Rex ini dimiliki oleh Njoo Tjong Gie atau dikenal dengan nama Fred Young. Gedung Rex Theater tersebut dibuka pada 8 Agustus 1940. Keistimewaan gedung Bioskop Rex ada pada arsitektur bangunan serta daya tampungnya yang dapat mencapai 700 orang. Pribadi dari Njoo Tjong Gie dikenal dermawan di kalangan warga Tionghoa maupun warga malang. (Tjahaja Timoer, 9 Agustus 1940, Pemboekaan officieel dari Rex Theater).

Ada kebiasaan berjudi dari warga Tionghoa dimasa pendudukan Jepang. Malah saat itu terdapat Rumah Judi Tionghoa di rumah Yang A Tjie di Jalan Jodipan IIIb/1445, jalan Jagalan dan Gang Boldy. Ada perbedaan antara orang Bumiputera dengan orang Tionghoa ketika berjudi. Yaitu orang Tionghoa dengan uang, sedangkan orang bumiputera berjudi dengan adu jago dan andokan burung. Kebiasaan sering kalah berjudi orang bumiputera ini akibatkan mereka yang sering jual tanah. Tentunya hal ini menyebabkan warga Tionghoa semakin luas menguasaan lahannya karena membeli tanah dari warga yang kalah judi. Sehingga orang Tionghoa memiliki tanah-tanah murah di kampung Jagalan dan Kudusan. Selanjutnya tanah-tanah tersebut dipergunakan untuk lokasi berdagang.

D. ERA AGRESI MILITER 1947-1949

Imbas dari peristiwa pertempuran Surabaya bulan November 1945 mengakibatkan sekitar 4.000 jiwa warga Tionghoa Surabaya mengungsi ke Malang. Mereka tidak membawa harta benda dan hanya membawa pakaian yang dipakai saja, sehingga kemudian ditangani oleh Palang Merah Tionghoa pimpinan Oei Chiau Liang dan Palang Biru Tionghoa pimpinan Tan Liep Sing terutama untuk penyediaan makanan dan penginapan. Ketika Dr. Sumarno menyiapkan rumah sakit darurat yang mampu menampung 1500 pasien, dia mendapatkan obat dari toko obat Yang Seng, toko obat Pao Yang dan Apotek Rakyat yang dimiliki oleh orang-orang Tionghoa.

Pengungsi warga Tionghoa yang rumahnya dibakar tersebut memanfaatkan hotel di Malang yang masih tersisa sebagai lokasi pengungsian. Terjadi banyak pengalihan rumah dan toko milik warga Tionghoa oleh penduduk Malang. Hal ini terjadi karena imbas semangat kemerdekaan yang berubah menjadi penguasaan ruang ekslusif masa lalu yang menjadi milik warga Tionghoa.

Pertengahan tahun 1945 perkumpulan Tiong Hwa Hwee Kwan (THHK) berjuang agar kawasan pecinan menjadi kampung warga Tionghoa. Karena hampir seluruh toko milik orang Tionghoa kala itu berada di daerah Pecinan. Dan hanya ada sedikit toko milik non Tionghoa, yakni Toko Baru milik orang Arab, toko Saeko dan Ogawa milik orang Jepang dan 2 toko milik orang pribumi. Ada kisah tragis dimana 1946-1947 dimana ada kebijakan yang membuat warga Tionghoa terpaksa jualan di diserambi depan toko karena tokonya diambil alih warga pribumi. Kemudian setelah warga pribumi yang menguasai toko kehabisan barang dagangan maka toko tesebut dijual kembali ke warga tionghoa yang berjualan di depan tadi.

Terdapat beberapa nama penggerak perjuangan kemerdekaan Indonesia di Malang, seperti dr. Oei Boen Thong, dr. Tjan Eng Yong, dr. Tjoa Sek Ien, Go Gien Tjan, Siauw Giok Bie, Liem Bian Sioe, Oei Ie Pan, Ie Ie Djeng, Liem Eng Hoa, Oei Bing Kie dan masih banyak yang lain. Namun seringkali banyak hal lain yang membuat etnis tionghoa berada dalam situasi sulit.

Selain itu terdapat kejadian luar biasa saat peristiwa Malang bumi hangus yang melibatkan warga Tionghoa. Peristiwa itu terjadi pada 31 Juli 1947 dan baru terungkap pada 3 Agustus 1947. Saat itu ditemukan oleh tentara Belanda terdapat sejumlah 30 jenazah Tionghoa (laki-laki dan perempuan) dalam kondisi terbakar dalam sebuah pabrik Mie di daerah Mergosono. Bersamaan dengan hal itu Fabriek rokok Faroka dan Tapioca Kian Gwan pun dibakar, sebelumnya ada penjarahan juga. Sebelum kekacauan Malang Bumi hangus tersebut terjadi Liem Bian Sioe dan tokoh-tokoh Tionghoa sudah meminta jaminan keamanan pada para gerilyawan dan polisi. Namun yang terjadi adalah penangkapan warga Tionghoa jalan Kawi dan sekitar kotalama. Mereka dikumpulkan dan mendapatkan perlakuan yang tidak manusiawi. Peristiwa tersebut diduga dilakukan oleh para penyusup dan perampok yang mengambil kesempatan saat terjadi pembakaran 1.000 gedung di Malang.

suasana penemuan korban tragedi Mergosono

Dalam gedung yang terbakar tersebut juga ditemukan tanda-tanda bahwa mayat tersebut mendapatkan kekerasan terlebih dahulu sebelum dibakar hidup. Sebelum akhirnya disiram bensin untuk dibakar. Korban tersebut mendapatkan tuduhan bahwa mereka bekerja sebagai mata-mata untuk kepentingan Belanda. Nama-nama korban berdasarkan catatan resmi Chung Hua Tsung Hui Malang yaitu Sie Bian Kiet (dikenal dengan nama populer Freddy Sie, atlet sepak bola), Sie Bian Ien, Tan Soen Seng,Tan Teng San dan nyonya, Koo Pan Tjo, Kwee Giok Tjhoen, Oen Nam Tjing, Koo Siam Tjo, Kwee Keh Tien, Kwee Lian Sie dan nyonya, Nie Swan Hwie, Nyonya Kwee Swan Hwie, Tan Ting Siang, Yap Tian Seng, Yap Kong Ing, Tan Thing Lien, Tan Siang Soen, Yap Khik Hien, Yap Tie Wan, Go Siong Kie, Lay Tjoen Hien, Go Yauw Khing. Sedangkan identitas korban lainnya tidak dikenal lagi.

Semua korban di makamkan pada 3 Agustus 1947. Ada informasi lain bahwa akhirnya sekitar tahun 1990an, kerangka makam masal tersebut digali kembali dan dikremasi selanjutnya dilarung di pantai pasir putih. Tragedi ini menjadi salah satu peristiwa yang sangat disesalkan terjadi serta menjadi pelajaran kemanusiaan atas titik balik hubungan masyarakat di Kota Malang.

Pemerintahan Belanda di Malang berakhir pada tanggal 6 Februari 1948 sesaat ketika Perjanjian Renville ditandatangani diatas kapal AS yakni USS Renville di Jakarta. Perjanjian itu ditengahi oleh Komisi tiga Negara untuk menyelesaikan akibat dari perjanjian Linggarjati sebelumnya. Perjanjian ini mengakibatkan terjadinya gencatan senjata dan TNI harus mundur dari daerah kantong. Disamping itu adanya pengakuan Belanda atas Jawa Tengah, Jogyakarta dan sumatera sebagai bagian wilayah republik Indonesia. Hal ini memaksa antara kedua pihak hentikan peperangan dan berpindah ke atas meja diplomasi. Kota Malang yang sebelumnya sepi dan hancur akibat siasat Malang Bumi Hangus mulai berangsur pulih dan kembali bergerak lagi bersama masyarakat Malang termasuk kelompok Tionghoa.

Sementara itu pengamat sejarah dan cagar budaya, Agung H Buana yang juga ASN pemkot malang menyatakan bahwa perjalanan panjang masyarakat Tionghoa di kota Malang dapat menjadi cermin kehidupan di masa depan. “Riuh rendahnya dinamika masyarakat Tionghoa Malang perlu diapresiasi sebagai bagian dinamika masyarakat kota Malang yang plural, pahit getir dan gurihnya kehidupan jadi motivasi kita semua.”ujarnya.

Selamat buat warga Tionghoa Malang yang akan merayakan Imlek 2574 Kongzili, semoga kesejateraan dan kemakmuran bersama dapat terwujud ditahun ini. Xie xie (Ahar)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WeCreativez WhatsApp Support
Our customer support team is here to answer your questions. Ask us anything!
👋 Hi, how can I help?