Seputar Sekolah Knowing VS Sekolah Being, Catatan Sulistyowati
Tujuan Pendidikan nasional dalam Undang-undang nomor 20 tahun 2013 pada pasal 3 (Dasar, Fungsi, dan Tujuan Pendidikan Nasional) mengenai Sistem Pendidikan Nasional (SISDIKNAS) adalah sebagai berikut. Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Pendidikan merupakan sebuah proses penting dalam kehidupan manusia, karena melalui proses ini manusia dibentuk dan dilahirkan sebagai seorang manusia yang utuh dan sebenarnya. Dalam upaya mencerdaskan bangsa pendidikan seharusnya dipandang sebagai alat perjuangan pencerahan manusia. Sebagai alat perjuangan pencerahan manusia maka minimal ada tiga aspek yang harus ada dalam sebuah proses pendidikan. Pertama, Aspek iman, yang berorientasi pada proses pembentukan keyakinan manusia akan Penciptanya (Spiritualitas). Kedua, Aspek kognisi, yang berorientasi pada perubahan pola pikir (Intelektualitas). Ketiga, Aspek afeksi, yang berorientasi pada perubahan sikap mental dan perilaku (Mentalitas). Singkatnya akan terbentuk manusia yang Cerdas, trampil, berkarakter dan berakhlak mulia sesuai dengan visi, misi dan tujuan Pendidikan Nasional.
Kenyataannya bagaimana hasil pendidikan kita?????? Tentunya para pembaca dan sahabat semuanya sudah tahu dan menyaksikan bahkan merasakan hasil pendidikan kita. Sebagian contoh nyata dalam kehidupan terjadinya penyimpangan perilaku dan masalah sosial notabene pelakunya sebagian para pemimpin bahkan para pendidik itu sendiri. Dimana yang seharusnya menjadi teladan/tuntunan serta panutan. Sebenarnya Pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk memperbaiki kwalitas pendidikan, baik dari segi kompetensi/profesisionalisme guru, sarpras maupun penyempurnaan kurikulum, namun hasilnya masih amat sangat jauh dari harapan. Pertanyaannya mengapa???
Di dunia ini ada dua jenis sistem pendidikan, pertama adalah sistem pendidikan yang hanya menjadikan anak-anak kita menjadi mahluk “Knowing” atau sekedar tahu saja, sedangkan kedua sistem pendidikan yang mencetak anak-anak menjadi mahluk “Being”, pendidikan benar-benar di arahkan untuk mencetak manusia-manusia yang tidak hanya tahu apa yang benar akan tetapi mereka juga mau melakukan apa yang benar sebagai bagian dari kehidupannya.
Kebanyakan sekolah yang ada hanya bisa mengajarkan banyak hal untuk diketahui para siswanya, sementara sekolah tadi tidak mampu membangun kesadaran siswanya untuk mau melakukan apa yang dia ketahui itu sebagai bagian dari kehidupannya. Sehingga anak-anak tumbuh hanya menjadi “Mahluk Knowing”. Yaitu hanya sekedar mengetahui bahwa zebra cross adalah tempat menyeberang, tempat sampah adalah untuk menaruh sampah, tapi kenyataaanya mereka tetap menyeberang dan membuang sampah sembarangan. Ciri-ciri sekolah semacam ini biasanya memiliki banyak sekali mata pelajaran yang diajarkan pada siswanya, hingga tak jarang membuat para siswanya stress dan mogok sekolah. Segala macam diajarkan dan banyak hal yang di ujikan tetapi tak satupun dari siswa yang menerapkannya setelah ujian dilakukan karena ujiannyapun hanya sekedar tahu saja atau “Knowing” dan hanya bertumpu pada nilai (angka)/hasil.
Pada negara-negara maju sistem pendidikan benar-benar di arahkan untuk mencetak manusia-manusia yang tidak hanya tahu apa yang benar akan tetapi mereka juga mau melakukan apa yang benar sebagai bagian dari kehidupannya. Beban kurikulum sangat reflektif dan kontektual umumnya hanya di ajarkan 3 mata pelajaran pokok yakni Basic Sains, Basic Art dan Social yang semuanya dikembangkan melalui praktek langsung dan studi kasus terhadap kejadian nyata yang terjadi diseputar kehidupan mereka. Sehingga mereka tidak hanya tahu, malainkan mereka juga mau menerapkan ilmu yang diketahuinya dalam keseharian kehidupan mereka. Anak-anak juga tahu persis alasan mengapa mereka mau atau tidak mau melakukan sesuatu. Cara ini mulai diajarkan pada anak sejak usia mereka masih sangat dini agar terbentuk sebuah kebiasaan yang kelak akan membentuk mereka menjadi mahluk “Being”. Yakni manusia-manusia yang melakukan apa yang mereka tahu benar.
Sekolah itu sesungguhnya memegang peran yang sangat penting bagi pembentukan perilaku dan mental anak-anak bangsa. Sebenarnya sekolah tidak hanya berfungsi sebagai lembaga sertifikasi yang hanya mampu memberi ijazah para anak bangsa. Harus disadari bahwa sekolah-sekolah kita mestinya lebih di arahkan untuk mencetak generasi yang tidak hanya sekedar tahu tentang hal-hal yang benar tapi jauh lebih penting untuk mencetak anak-anak yang mau melakukan apa-apa yang mereka ketahui itu benar yaitu Mencetak manusia-manusia yang “Being”.
Para orang tua dan semua sahabat guru yang saya hormati dimanapun berada, mari kita renungkan bersama apakah rumah dan sekolah kita Knowing atau Being???? Apakah tempat anak-anak kita bersekolah telah menerapkan sistem pendidikan dan kurikulum yang akan menjadikan anak-anak kita untuk menjadi mahluk “Being” atau hanya sekedar “knowing”.
Menjawab ironisme terhadap kwalitas pendidikan langkah sistematik dan konsisten dengan melakukan reorientasi sistem pendidikan. Sistem pendidikan yang akan dikembangkan harus mampu mewadahi tiga dimensi dasar kehidupan manusia, yaitu dimensi ruhiyah (moralitas/spiritualitas/agama), dimensi fikriyah (intelektualitas) dan dimensi mental untuk dapat dimanage secara proporsional dan seimbang. Hal ini tentunya diawali dari para pendidik sebagai agen utama dan paling bertanggung jawab terhadap keberhasilan pendidikan karena secara langsung bersentuhan dengan para siswa yang harus dibekali dan dipersiapkan sebagai manusia – manusia yang “Being”. Sepatutnya para pendidik terus merevolosi diri untuk makin profesional dalam segala dimensi, dapat menjadi tuntunan bukan hanya sekedar tontonan serta teladan bagi para siswanya.
Disisi lain kita harus memahami terjadinya pergeseran peran guru di era milenial ini, guru tidak hanya mengajar dan mendidik, akan tetapi guru juga menjadi sumber motivasi, inspirasi, serta sumber pencerahan bagi para siswa dan juga lingkungannya. Tidak hanya mengandalkan dimensi Fikriyah/Intelektualitas, tapi terus menguatkan dimensi Ruhiyah/Spiritualitas. Karena hanya Rahmad & Karunia ALLOH SWT yang akan menuntun pada kebenaran, profesianalisme serta tugas kita untuk mendidik anak- anak bangsa menjadi manusia paripurna sesuai dengan Tujuan Pendidikan Nasional. Semoga bermanfaat, terus semangat merevolusi & merefresh diri. Salam sukses penuh Barokah untuk semuanya, bersama ALLOH SWT pasti Bisa dan terselesaikan. Percayalah !!!
penulis adalah Sulistyowati, M.Pd, penulis sekaligus narasumber