KANDUNGAN SPIRIT JUANG “GAJAYANA” PADA KEOLAHRAGAAN MALANG: Stadion Bersejarah di Kota Heritage Malang, catatan M. Dwi Cahyono
A. Gajayana Nama Stadion Olah Raga
........................
Kutho malang kuthone pancen rame
Pasar Induk Gadang panggonane
Kulon lun alun ngeglok Masjid Jami’e
Ojo lali Arjosari terminale
Tahu tempe Sanan panggonane
Jalan Lombok terkenal soto ayame
Nyami’ane kripik singkong jik nyamplenge
Aremania wis kondang sepakbolae
. .....................
(Lirik lagu “Malang Pancen Rame”, Buri Hendika Kurniawan, tahun 2000-an)
Salah satu baris dalam sebagian kutipan lirik lagu diatas menyebut “Arema wis kondang sepakbolane”. Terkait dengan “sepak bola”, fasiltas penunjang yang musti ada adalah “lapangan sepak bola” disebut juga dengan “stadion”. Setidaknya sejak akhir tahun 1970-an stadion Kota Malang diberi nama “Stadion Gajayana”. Penamaan “Gajayana” terhadapnya meminjam nama tokoh sejarah Malang, yakni nama raja ke-2 di Kerajaan Kanjuruhan. Nama “Gajayana” sekaligus mengabadikan nama Persatuan Sepakbola (PS) di Kota Malang pada tahun tersebut, yakni club sepak bola legendaris waktu itu.
Terhitung pada tahun ini (2024), pemakaian nama “Gajayana” untuk nama stadion di Kota Malang telah lebih dari setengah abad. Suatu kurun waktu cukup lama, yang bisa dijadikan alasan untuk menyatakan bahwa nama (toponimi) “Gajayana” sebagai nama untuk stadion ini menjadi nama yang “menyejarah”. Dengan perkataan lain. nama “Gajayana” menjadi “heritage tophonimy” untuk stadion Kota Malang. Sebagai heritage tophonimy, nama “Gajayana” untuk stadion Kota Malang perlu dipertahankan pemakaiannya. Dibalik namanya, tersirat tetsirat “semangat juang” untuk keberadaban masyarakat Malang.
B. Gajayana, Raja Agung Kerajaan Kanjuruhan
Gajayana adalah tokoh besar dalam sejarah Malang Raya, malahan lebih luas lagi dalam sejarah Jawa Timur. Salah seorang raja pada Kerajaan Kanjuruhan, yang pada abad VIII- IX Masehi berpusat pemerintahan (kadatwan) di DAS Metro pada sub-area barat Kota Malang. Namanya disebut dalam prasasti Kanjuruhan (disebut juga “Prasasti Dinoyo I”) bertarikh Saja 682 (760 Masehi). Pada prasasti ini, dua kali namanya disebut, yaitu beris ke-4 “rapāvi-tā || limvaḥ api tana(yaḥ tasyagajayānaḥ” dan pada baris ke-8 “je bhagavati agastyebhaktaḥ dvijātihitakṛdgaja(-yānanā[mā])”. Pada baris ke-4 konteks penyebutannya adalah ganeoligi Gajayana sebagai putra Dewa Simha. Adapun pada baris ke-8 konteks penyebutannya juga berkenaan dengan aspek ganeoligis, yang menyatakan bahwa Anana adalah cucu dari Gajayana, orang yang senantiasa berbuat baik terhadap kaum brahma, dan pemuja Agastya.
Pada silsilah raja-raja di Kanjuruhan yang diberitakan dalam Prasasti Kanjuruhan, Gajayana dinyatakan sebagai raja ke-2. Raja pertama, sekaligus cikal bakal dinasti (vamsaketa atau vamsakara) adalah Dewa Simha. Pada baris ke-4 dan ke-6 disebut juga nama kecil atau nama kelahiran (garbhopatinsna)- nya, yaitu “limvah (varian pembacaannya “limwa” atau “liswa”), istilah Sanskreta yang secara harafiah berarti : anak komedi, penari jenaka, pelawak atau badut. Sebuah sebutan yang dalam disertasi R.M. Ng. Poerbatjaraka “Agastya in den Archipel” tahun 1926 namanya ini direlasikan dengan muasal sebutan untuk “Candi Badut”. Gajayana adalah renovatir terhadap candi kecil untuk memuja Maharsi Agastya menjadi candi Hindu Siwa yang berkuran lebih besar dan disertai srama (asrama) untuk Brahmana-brahmana pengelola candi.
Sebutan “Gajayana” adalah nama pentabisan (bahasa Sanskreta “abhisekanama”), berupa kata gabung terdiri atas dua kata, yaitu : (1) gaja, dan (2) yana Kata Sanskreta “gaja (गज m) menunjuk pada binatang : gajah, adapun kata “yāna” mengandung arti : salah satu kualitas kerajaan, salah satu diantara berbagai jenis barang (diantara 10 jenis) yang digunakan untuk ketegori sumbangan, salah sebuah diantara berbagai Upapurāṇa yang menggambarkan Śivaisme, atau dapat juga berarti : jalan (cara pencapaian). Unsur sebutan “yana” juga mengandung arti : salah satu dari enam unsur kenegaraan yang harus selalu direnungkan oleh raja. Terdapat beberapa raja yang memiliki unsur sebutan “yana”, seperti Udayana, Utejana, dsb.
Raja Gajayana mempunyai kekuatan (power) besar laksana gajah, yang mampu membawa ketentraman di seluruh negeri. Lantaran besar sumbangsihnya bagi para Brahmana maupun rakyat, Gajayana sangat dikenal di kalangan Brahmana serta rakyat Kanjuruhan. Diantara empat orang raja yang secara ganeologis diberitakan dalam Prasasti Kanjuruhan, yaitu : (1) Dewa Simha, (2) Gajayana, (3) Utejana, dan (4) Anana, terbayang bahwa Gajayana adalah raja yang terbesar Kanjuruhan sebagai kerajaan otonom. Selama masa pemerintahannya sang raja memberikan kontribusi religis dalam bentuk renovasi terhadap embrio Candi Badut maupun pembangunan beberapa candi lain termasuk Candi Gasek pada DAS Metro, hingga pembuatan Srama untuk para Brahmana di selatan Candi Badut pada eks Dusun Kejuron. Perihal kontribusi raja Gajayana dalam bidang religi ini disuratkan di dalam prasasti Kanjuruhan (760 Masehi) yang ditulis atas perintah raja Anana, yakni cucu Gajayana, untuk mengenang jasa-jasa kakeknya. Pada masa itulah Hinduisme mampu menempatkan fondasi kokoh di Jawa Timur .
Selain itu, pada era pemerintahan Anana, yakni cucu Gajayana, mulailah kawasan Malang Raya, bahkan Jawa Timur, memulai tradisi literal, yang antara lain terbukti dengan adanya Prasasti Kanuruhan (760 Masehi). Suatu prasasti Jawa yang mengawali penggunaan aksara lokal Jawa setelah Prasasti Plumpungan (750 Masehi). Tergambar bahwa empat generasi awal penguasa Kanjuruhan (Dewa Simha, Gajayana, Utejana dan Anana) yang menjadi “para pejuang peradaban di kawasan Malang Raya dan bahkan di wilayah Jawa Timur yang meletakkan fondasi peradaban baru bercorak India (Hindu-Buddha), sehingga semenjak itu terciptalah sistem sosial-budaya yang teratur (socio-cultural order). Atas dasar itulah, maka pentarihan Prasasti Kanjuruhan 28 Nopember 760 Masehi dijadikan sebagai pertanda “Hari Jadi Daerah Kabupaten Malang”.
C. Pemakaian Nama “Gajayana” untuk Stadion Kota Malang
Sebagai “nama besar”, nama raja “Gajayana” dipinjam untuk menamai sejumlah hal yang berada di Malang, paling tidak menjadi : (1) Nama universitas, yaitu Universitas Gajayana (disingkat “Uniga”, (2) nama stadion di Kota Malang, yaitu Stadion Gajayana, (3) nama kereta api, yaitu KA Gajayana jurusan Malang-Jakarta PP, serta konon pernah menjadi (4) nama SD (Sekolah Dasar), yaitu SD Gajayana” di Kelurahan Arjosari, (5) nama Perkumpulan Sepakbola (PS) serta sasana tinju, yaitu PS Gajayana dan Sasana Gajayana, (6) Gedung Kesenian Gajayana (dulu “Gedung Kesenian Cendrawasih”). Bila nama rajanya dijadikan sebagai nama sejumlah hal tersebut, nama kerajaannya, yaitu kanjuruhan”, juga dijadikan nama untuk sejumlah hal. antara lain menjadi : (1) nama stadion pada Kabupaten Malang yaitu Stadion Kanjuruhan, (2) nama universitas, yaitu Universitas Kanjuruhan (disingkat “Unikama”), dan sebagainya. Jelaslah bahwa baik raja ataupun kerajaan yang tertua di Jawa Timur itu dijadikan nama untuk stadion olah raga, yaitu Stadion Gajayana di Kota Malang dan Stadion Kanjuruhan di Kabupaten Malang.
Sebagaimana dipaparkan pada alinea diatas, salah satu penggunaan nama “Gajayana” adalah untuk menamai stadion sepakbola di Kota Malang. Sebenarnya, nama “Gajayana” untuk stadion ini bukan satu-satunya nama baginya. Paling tidak, tiga kali mengalami pergantian nama, dari (1) nama awalnya “Gemeentelijk Sport Park” pada era kolonia Hindia-Belnda (tahun 1926-1942), lalu berubah menjadi (2) “Stadion Dalam Kota Malang” antara tahun 1960-an hingga 1973, dan (3) terhitung sejak tahun 1974 mendapatkan sebutan “Stadion Gajayana” hingga sekarang. Berikut dipaparkan gambaran sekilas sejarah perkembangan stadion ini dalam satu abad (1924-2024) yang dikelompokkan dalam dua periode, yaitu : (1) Periode Kolonial dan (2) Periode Kemerdekaan RI.
1. Stadion Kota Malang Masa Kolonial
Pembangunan kompleks fasiltas olahraga di Kotapraja (Gemeente) Malang terintegrasi dengan perencanaan pembangunan (bouwplan) Gemeente Malang, yang terdiri atas delapan tahap I s.d. VIII, tahun 1917-1939. Tepatnya dilakukan bersamaan waktu dengan pelaksanaan bouwplan V (1924-1926) pada kawasan dengan nama jalan gunung-gunung (diistilahi dengan “Bergenbuurt”). Salah satu prasarana terbangun berupa sumbu jalan baru dengan arah timur-barat, yang terbentang dari Stasiun KA Kota Baru melintasi Jan Pieterszoon Coen Plein (kini dinamai “Alon-Alon Bunder”), aliran Bhangawan Brantas, perempatan Radja Balie (kini disebut “Perempatan BCA”, kemudian berlanjut ke barat hingga mencapai dua areal taman, yaitu Semeroe Plein (Taman Semeru)” dan Beatrixpark (Taman Beatrix). Perempatan Raja Balie yang dilengkapi dengan bangunan-bangunan sudut (woningen metwingkles) karya Karel H.G. Bos menjadi semacam gerbang ke arah barat menuju ke Beatrixpark yang memiliki latar belakang Gunung Kawi nan elok.
Sumbu jalan timur-barat ini sebagai kelanjutan terhadap perintisan jalan yang dihasilkan pada Bouwplan II (1920-1922) di Goeverneur Generaalbuurt (kawasan bernama jalan para Gubernur VOC), yang terhenti oleh aliran bangawan Brantas. Sumbu jalan timur-barat ini memotong sumbu jalan utara-selatan, sehingga terbentuk persilangan jalan (junction) yang konon populer dengan sebutan “Perempatan Radja Balie”. Titik pangkal di timur adalah Stasiun KA Kota Baru dan ujung baratnya berupa Beatrixpark (kini areal Museum Brawijaya dan perumahan di Jl. Wilis.
Pembangunan sumbu jalan timur-barat dalam Bouwplan V sebagai langkah antisipasi terhadap kuatnya pengaruh sumbu jalan selatan-utara, yang dianggap tak menguntungkan bagi perkembangan Gemeen-te Malang. Sumbu jalan timur-barat menjadi akses jalan menuju ke Bergenbuurt dari pusat Gemeente Malang yang berada di Goeverneur Generaalbuurt. Bergenbuur dikembangkan dalam dua tahap, yaitu pada Bouwplan V (1924- 26) dan VII (1929-1935), yang dilengkapi dengan tempat peribadatan Kristiani (gereja), sekolah, taman-taman kota maupun lapangan olahraga. Bahkan, ada dua lapang olahraga, yaitu (1) Gemeentelijk Sport Park yang dibangun pada Bouwplan V, dan (2) lapangan balap kuda yang dibangun pada Bouwplan VII. Kompleks fasiltas olahraga tersebut dibangun bersebelahan, tepatnya sebelah timur “Taman Semeru (Semeroe Plein, ada juga yang menyebut dengan “Semeru Park”). Semeroe Plein itu terletak berhadapan dengan Beatrix Park (pada era Pendudukan Jepang dinamai “Tanaka Park”, lalu era Kemerdekaan RI berubah nama menjadi “Taman Indrakila” yang berada di pertemuan lima buah jalan.
Ada banyak pendapat menyatakan bahwa awal pembangunan kompleks fasiltas olahraga ini adalah pada 1 April 1924, yang diprakarsai oleh wali kota (burgemeester) Kotapraja (Gemeente) Malang ke-2 (1919-1929), yaitu H I Bussemaker — Walikota ke-1 adalah E.K Broeveldt (1914-1919), yang merangkap jabatan sebagai Asisten Residen Malang. Masa pembangunan dua tahun (1924-1926) dengan menelan biaya cukup fantastis untuk ukuran waktu itu, sebesar 100.000 gulden (apabila dikurskan dalam rupiah berkisar 851 jutaan). Kompleks fasilitas olahraga ini dinamai dalam bahasa Belanda “Gemeentelijk Sport Park (Taman Olahraga Kota)”, yang me- liputi : (a) stadion sepakbola, (b) lapangan hoki, (c) lapangan tenis. (d) lapangan altetik, dan (e) kolam renang. Lokasi Taman Olahraga Kota Malang ini di kawasan permukiman elit bertipe “vila” khusus untuk golongan Eropa (Eropean). Ide Wali Kotapraja Malang H.I. Bussemaker untuk membangun Taman Olahraga Kota itu terinspsirasi oleh stadion single-tribune pada kota kelahirannya di Amstrdam, Oude Stadion (Het Nederlandsch Sportpark), yang dibangun pada tahun 1914. Bentuk awal stadion sepak-bola di Kotapraja Malang juga single tribune. Posisi tribun berada di bagian barat stadion, yang ohanya memiliki 200 kursi. Adapun daya tampung penonton hingga 5.000 s.d. 10.000 orang, yang berarti terbesar se-Indonesia kala itu.
Nampaknya, fasiltas sepak bola menjadi prioritas di sport center ini, terbukti ada tiga stadion sepakbola, yaitu : (a) sebuah stadion untuk bertanding yang diperlengkapi dengan tribun dan sistem drainase di bagian tengah stadion yang dibuat pada tahun 1924, serta 2 (dua) lapangan sepakbola kecil — sebagai tempat latihan. Terhitung sejak tahun 1926 telah terdapat sejumlah klub sepakbola yang menjadikan lapangan sepakbola ini sebagai home base, berturut-turut : (a) Voetbalbond Malang en Omstreken (VMO, tahun 1914-1928), (2) Malangsche Voetbal Bond (MVB, tahun 1928-1934, serta Malangshce Voetbal Unie (MVU, tahun 1934-1952). Ada pula klub sepak bola orang-orang Tiong Hos bernama “Hua Chiao Tsing Nien Hui (HCTNH). Selain empat klub sepakbola non-pribumi itu, masih terdapat klub sepakbola bumiputera (pribumi) yang juga ber-home base di Taman Olahraga ini, yaitu Persatoean Sepakbola Indonesia, (PSIM, tahun 1933-1952).
Data lain menunjukkan bahwa pembangunan Taman Olahraga Kota Malang tersebut diawali dengan persetujuan Dewan Kota (Gemeenteraad) pada tanggal 28 Desember 1925 perihal pembangunan (a) stadion bola (b) 4 lapangan tenis, dan (c) kolam renang. Selanjutnya di- bentuk komite yang menangani olahraga dan eksplorasinya. Selama dua tahun (1926-1927) Taman Olahraga Kota tersebut diperluas dengan fasilitas (a) stadion bola, (b) lapangan atletik, (c) lintasan bersepeda, (d) ring tinju, (e) tribun dengan 200 kursi, (f) sembilan lapangan tenis diperlengkapi dengan dua club’ house, (g) kolam renang dengan ukuran 40 X 15 meter beserta 40 ruang ganti, (h) instalasi limpat, (i) ruang penyegaran, (j) dua lapangan latihan sepak bola, serta (k) lapangan hoki (Staadgemeente Malang 14 April 1914-1934, hal. 81). Jika menilik data ini, tergambar bahwa proses pembangunan Taman Olahraga ini berlangsung dari akhir tahun 1925 s.d. 1927, bukan antara tahun 1924-1926.
Pembangunan taman olahraga kota itu adalah salah satu fasiltas yang sengaja dilengkapkan guna meningkatkan prasarana dan sarana kota, sehingga Kotapraja Malang kian semarak dan berkembang pesat (Abubakar, 2020: 74). Fasilitas-fasilitas publik terbangun antara lain jalan dan jembatan; terminal oto, kereta api dan trem beserta kendaraan angkut daratnya; perkantoran; pasar dan pertokoan; perbankan, tempat peribadatan dari ragam agama; sekolah; rumah sakit; perhotelan: instalasi air bersih, kelistrikan dan pos-telepon-telegram; societiet; bioskop dan gedung kesenian; restoran; taman kota (paru-paru kota); lapangan olahraga, dan sebagainya. Fasiltas-fasiltas yang ada itu terbilang lengkap untuk sebuah kota di Masa Kolonial, lantaran Kotapraja Malang didesain sebagai kota yang teratur dan nyaman, kota terpadu yang dilengkapi dengan ruang terbuka yang cukup luas baik berupa lapangan ataupun taman sebagai paru-paru kota dan sarana hiburan bagi warga kota (Basundoro, 2009, 274-27).
Semenjak awal Kota Malang didesain sebagai kawasan hunian serta tempat peristirahatan, bukan sebagai kota dagang dan industri, termasuk tempat hunian nyaman untuk orang-orang Eropa yang tinggal di Kota Surabaya untuk berakhir pekanatau berliburan. Udara yang sejuk dan fasiltas lengkap untuk hibur-an liburan menjadikan Kotapraja Malang jadi tempat pilihan untuk didatangi.. Fasilatas pubilik seperti pasar, pertokoan, hotel, sarana dan prasarana olah raga dan tontonan adalah kelengkapan yang penting bagi kota rekreatif Malang. Walhasil Kotapraja Malang tumbuh dan berkembang menjadi kota yang memiliki fasilitas jasa, bisnis, hiburan, kesehatan, pendidikan dan relaksasi. Taman Olahraga Kota (Gemeentelijk Sport Park) adalah salah satu fasiltas publik tersebut .
Apabila menlik masa pembangunannya, yaitu tahun 1914-1926 atau mungkin 1925-1927, bisa dibilang bahwa stadion ini adalah stadion olahraga yang tertua kedua setelah Stadion Menteng di Batavia, yang dibangun pada tahun 1921 oleh dua arsitek, yaitu FJ. Kubatz dan PAJ. Moojen. Lantaran pada tahun 2006 Stadion Menteng dibongkar dan dialihfungsi kan menjadi ruang publik hijau (taman), maka kini Stadion Gajayana di Kota Malang adalah stadion tertua yang masih bertahan ada (eksis) hingga kini. Kurang dari satu dasawarsa berikutnya, tepatnya pada tahun 1932 menyusul dibangun Sadion Sriwedari di Solo, lantas September 1934 dibangun Stadion Diponegoro di Semarang (kini tak lagi dipergunakan). Stadion-stadion tua yang lainn baru dibangun pada pasca Kemerdekaan RI, seperti Stadion Gelora 10 Nopember di Surabaya (tahu 1951), Stadion Teladan di Medan (tahun 1951), Stadion Ikada (Ikatan Atletik Djakarta, dibangun 18 Juli 1951, kemudian tahun 1963 dibongkar untuk diadikan sebagai kawasan “Monumen Nasional Indonesia”), Stadion Siliwangi di Kota Bandung (1 Januari 1954), Stadion Andi Mattalatta/Mattoangin di Makassar (tahun 1957), serta Stadion Utama Senayan di DKI Jakarta (Gelora Bung Karno, tahun 1960).
Paparan diatas memberikan gambaran bahwa Kotapraja Malang telah sebermula menaruh perhatian terhadap olahraga (spot). Bahkan, tak berapa lama dari kelahiran kota ini, yakni kurang lebih satu dasawarsa pasca kelahiran-nya (tahun 1924-1026, atau mungkin 1925-129). Pada areal di sekitar Semeroe Plein ini bukan saja terdapat lapangan sepakbola, namun lebih kompleks dari itu tersedia fasilitas-fasilitas olah raga lain, sehingga menyerupai “sport center”. Kuatnya perhatian pada bidang sepakbola (voetbal) itu menorehkan prestasi, antara lain tercatat adanya seorang goolgeter (penjaga gawang) legendaris Timnas Hindia- Belanda bernama Tan Mo ‘Bing’ Heng, yang berasal dari Sumpil Blimbing Kota Malang. Bakatnya terasah di Gemeentelijk Sport Park antara 1928-1944, dimana ia bergabung dengan klub sepakbola HCTNH Malang (Hua Chiao Tsing Nien Hui), Malangsche Voetbal Bond (MVB), serta Malangsche Voetbal Unie (MVU).
2. Stadion Kota Malang Masa Kemerdekaan RI
Eksistensi stadion sepakbola di areal Taman Olahraga Kota (Gemeentelijk Sport Park) itu berlanjut hingga memasuki Masa Kemerdekaan RI, dengan mengalami beberapa renovasi. Selain itu, nama berbahasa Belanda darinya “Gemeentelijk Sport Park” dinaturalisasikan, yang antara dekade 1960- 1970-an mendapat sebutan “Stadion Dalam Kota Malang”. Renovasi dilakukan di awal pemerintahan Walikota Malang Kolonel Soegiyono (menjabat tahun 1973 -1983), pasca terjadi peristiwa MALARI di Jakarta tanggal 15 Januari 1974. Upaya ini dilakukan untuk meminimalisasikan efek dari Peristiwa MALARI. Renovasi dilakukan dengan meninggikan tribun hingga menambah data tampung penonton. Selain itu kembali dilakukan penggantian nama stadion sepakbola dari “Stadion Dalam Kota Malang” menjadi “Stadion Gajayana”.
Menurut informan Dimmy Haryanto, ada tiga orang anggota DPRD Kota Malang [saat itu] yang mengusulkan nama “Gajayana” kepada “ebes” Sugiono, yaitu : (1) Dimmy Haryanto dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesi (PDI), (2) Murtono Aladin dari Fraksi ABRI Angkatan Laut), serta (3) Jasman Supriyadi dari Fraksi Golkar). Usulan tersebut dikabulkan, sehingga terhitung sejak tahun 1974 “Gajayana” dipakai untuk menamai stadion di Kota Malang, yang terus digunakan hingga sekarang. Sebenarnya dalam waktu relatif bersamaan, nama “Gajayana” dijadikan nama buat beberapa lembaga olah raga, seperti Pekumpulan Sepakbola (PS) Gajayana serta Sasana Tinju Gajayana. Tokoh sejarah Malang, yakni raja ke-2 pada Kerajaan Kanjuruhan itu diabadikan namanya untuk nama stadion di Kota Malang.
Renovasi berikutnya, bahkan signifikan dalam hubungan dengan peningkatan daya tampung (kapasitas) penonton, dilakukan era pemerin-tahan Walikota H.M. Soesamto (memerintah tahun 1988-1998), tepatnya pada tahun 1990- 1992, hingga mencapai 17.000 orang penonton. Pada tahun 1996 diadakan penambahan lampu stadion yang berdaya pancar 800 lux, dengan menelan biaya Rp 2 miliar. Selama era pemerintahan Walikota Drs. Peni Soeparto, M.AP (memerintah tahun 2003-2013), Stadion Gajayana direnovasi dengan : (a) melakukan penggantian rumput, (b) menambah dua tribun utama, (c) meninggikan tibun ekonomi di sisi timur, serta (d) memperluas area parkir, yang menelan biaya Rp25 miliar. Walikota Peni Suparto mengusung prototype Ho Chi Minh Stadium (kini Thong Nhat Stadium)” di Ho Chi Minh City, Vietnam untuk memberi wajah baru Stadion Gajayana.
Pada tahun 2007, manakala Arema berlaga di AFC Champions League, stadion sepakbola ini mendapatkan renovasi untuk menambah kapasitas penonton hingga mencapai 25.000 orang penonton. Setahun kemudian (tahun 2008) kapasitasnya lebih ditingkatkan hingga lebih dari 30.000 orang penonton. Tak hanya menambah kapasitas, juga dilakukan perombakan terhadap posisi tempat duduk, seperti tribun dipisah dengan kelas VVIP dan penambahan fasilitas lain. Kini Stadion Gajayana yang dikelola oleh Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) Stadion Gajayana, Pemerintah Kota Malang, memiliki tiga kategori tribun, yakni : (a) tribun VIP bawah (1.500 orang), (b) tribun VIP atas (6.000 orang), (c) dua tribun utama (2.000 orang), sisanya (d) tribun ekonomi (20.475 orang) dan (e) tribun VVIP khusus tamu undangan (25 orang).
Sebagaimana di Masa Hindia-Bekanda, pada Masa Kemerdekaan RI stadion ini dijadikan home base dari beberapa klub sepakbola di Malang, secara berturut-turut : (a) Persema Malang (1952 – sekarang), (b) Arema Indonesia (1987 – sekarang), (c) Arema FC (1987 – 2004, homeground/ kandang kedua sejak 2004), (d) Malang United (2017 – sekarang), dan Sumbersari FC Malang (NZR Sumbersari, 2018 – sekarang). Sejumlah prestasi kembali terukir di stadion bersejarah ini, antara lain : (a) Raihan juara Arema Malang (kini Arema FC) saat juara Galatama pada musim 1992-1993, (b) home base Arema FC pada babak penyisihan grup kompetisi Liga Champions Asia tahun 2007. Dalam momentum lainnya, lintasan lari pada sadion ini menjadi tempat favorit latihan fisik pebulutangkis dunia Arek Malang, seperti (alm) Johan Wahjudi (Ang Joe Liang) pada tahun 1968-1980, Sri Wijanti pada tahun 1966-1974, dan Hendrawan (Yap Seng Wan) pada tahun 1987-2002. Golden Time Tinju pun, yakni era Thomas Ameriko, juga berpangsung di Stadion Gajayana.
Diluar kegiatan olahraga, tercatat kompetisi Break Dance secara nasional diawali di Stadion Gajayana. Beberapa pagelaran musik di masa lampqu juga pernah di gelar di Stadion .Gajayana. Menurut Hengki Herwanto, pada tahun 1970-an Mus Mulyadi menggelar konser musik di stadion ini. Demikian pula, Grup Band Pretty Sister pernah manggung di stadion ini yang digelar di Stadion Gajayana. Paling tidak antara tahun 1960 – 1990-an beberapa grup band seperti Tornado, Darkness, Bentoel Band, Greates, Elpamas, Slank, Dye Marker, Arema Voice, dan masih banyak lagi pernah mengisi tribun VIP Stadion Gajayana dengan pertunjukan musiknya. Helat musika yang lebih belakamgan adalah pagelaran 104 band, 104 vendor sound system dan 500 musikus pada acara “Sound of Unity” pada 9 Mei 2008 dalam rangka memeriahkan ulang tahun Kota Malang ke-104 dan sebagai alat pemersatu serta ajang bagi para seniman Kota Malang untuk ekspresikan kreativitasnya. Pagelaran serupa itu dihelat pada tahun berikutnya untuk memperingati hari jadi Kota Malang ke-105 pada tahun 2009. Lebih belakangan lagi, tepatnya 22 Januari 2023 dim stadion ini dihelat Preston Fest menampilkan sejmlah musisi tanah air, mulai dari Denny Cak Nan, JKT 48, Tiara Andini, Om Leo Ft. Smash, Gangga, Guyon waton maupun grup band serta musisi lokal dari Malang seperti SATCF, Atlesta, Christabel Annora dan Tani Maju. Yang paling akhir adalah menjadikan Stadion Gajayana sebagai tempat Kampanye Akbar Partai Demokrat pada Kamis,1 Februari 2024 yang menampilkan Denny Cak Nan, Tiga Pemuda Berbahaya, serta Orkes Musik Adella.
D .Spirit “Gajayana” untuk Pengukir Prestasi Keolahragaan
- Deret Prestasi Olahraga Tertoreh di Stadion Gajayana
Stadion ini sejak tahun 1974 diberikan nama “Gajayana”, yakni gama gelar (abhisekanama) dari raja ke-2 Kerajaan Kanjuruhan. Gajayana adalah sosok “pejuang restorasi peradaban Malang” pada medio abad VIII Masehi. Sang nata mewariskan “semangat juang (fighting spirit)”, yang dalam konteks olahraga menye-mangati para pelaku olahraga yang berlatih serta berlaga di Stadion Gajayana. Adalah seorang penjaga gawang legendaris Tan Mo ‘Bing’ Heng, yang mewarisi spirit juang itu di kancah persepakbolaan era Hindia-Belanda. Demikian pula Johan Wahjudi (Ang Joe Liang), Sri Wijanti serta Hendrawan (Yap Seng Wan), yang rajin berlatih lari di lintasan lari Stadion Gajayana mewarisi spirit juang tersebut guna mengukir prestasi di kancah perbutangkisan nasional. Tidak terkecuali Thomas Ameriko, yang memperoleh percikan semangat juang tersebut guna meraih prestasi pada ring tinju nadional yang dihelat di Stadion Gajayana.
Spirit juga merasuki klub sepakbola Arema Malang manakala menyabet juara Galatama pada musim tandang 1992-1993 di Stadion Gajayana. Areama FC pun kecipratan spirit juang itu, sehingga berhasil mendapatkan kemenangan pada babak penyisihan grup kompetisi Liga Champions Asia tahun 2007. Spirit juang adalah “sumber energi internal”, yang menjadi picu meraih prestasi. Kendati spirit juang Gajayana telah hadir pada satu seperempat milenium lalu, namun terbuka kemungkinan energinya bertransformasi lintas waktu dan lintas bidang, yakni dari masa lalu ke masa kini, dari bidang budaya-politik ke olahraga. Kata orang Jawa, spirit itu bisa “mancolo putro, biso mancolo putri”, bisa ber-transformasi lintas masa dan lintas bidang.
Gajayana bukan sekadar nama untuk stadion sepakbola. Lebih dari itu adalah “spirit juang”, yang menyemangati peraihan prestasi. Semo- ga spirit juangnya bagai “api yang tak kunjung padam”, yang mampu menyalakan semangat juang siapapun yang berlatih serta berlaga di stadion ini, baik kini ataupun nanti. Suatu spirit besar, seperti kekuatan binatang perkasa gajah (gaja) dalam sebutan “Gajayana”. Pada stadion yang bersejarah ini, sejarah keolahra-gaan Malang tertorehkan prestasinya.
- Stadion Tertua dan Problem Konservasinya
Stadion Gajayana memlikii sejarah panjang, sejah Masa Kolonial. hingga sekarang. Oleh karena itu cukup.alasan untuk mengidemtifi- fikadikan stadion yang berada di pusat Kota Malang, yang diikitari oleh Jalan Tenes, Jalan Semeru dan Jalan Tangkuban Perahu ini sebagai cagar budaya. Sebagai stadion tertua (berusia seabad, tahun 1914 – 2014) yang masih eksis hingga kini, stadion ini adalah warisan budaya (cultural heritage) dibidang keolahragaan. Walaupun secara arsitektural banyak mengalami perubahan dari bentuk awalnya untuk tampil menjadi lebih modern, namun dalam hal fungsi serta keletakkannya ada kesinambungan (comtinuity) hingga kini. Sebagai stadion sepakbola, tentu ia menjadi bagian sejarah sepakbola [atau lebih luas lagi olahraga], bukan saja untuk Malang Raya na-mun hingga di kancah nasional.
Kehadirannya di era awal Gemeente Malang terintegrasi dengan rencana pengembangan daerah, khususnya pada bouwpan V. Keberadaannya menjadi bagian dari kawasan besar tata kota Malang di era Hindia-Belanda yang membentang panjang dari Stasiun Kota Baru, Alon-Alon Bunder, Raja Balie Junction, hingga ke Semeroe Plein dan Bayrix Park di Bergen-buurt. Bersama dengan stadion pacuan kuda di Simpang Balapan, Gemeentelijk Sport Park ini menjadi salah satu komponen pelengkap bagi kompleks villa untuk golongan Eropean di Bergenbuur pada sub-area barat Gemeente Malang.
Pembangunannya telah terencanakan dalam peta kuno desain tata kota Malang pada era Hindia- Belanda. Kompleks fasiltas olah-raga ini dikemas sebagai “park (taman)” hal ini tergambar pada sebutannya “Gemeentelijk Sport Park”, yang terletak di sekitar Semeroe Plein dan Beatrix Park. Dinamika Kota Malang dari waktu ke waktu menjadikan kompleks fasiltas olah raga (me-nyerupai “sport center”) ini tidak terelakkan terkena sentuhan renovasi, yang bukan hanya mengubah bentuk dan dimensi arsitekturnya, namun juga mengalami penyusutan pada luas arealnya. Terdapat sebagian (sekitar 1/3) dari areal semula yang dialihfungsikan menjadi area pertokoan besar (mall), yakni (a) MOG (Mall Olimpic Garden) yang dibangun tahun 1927-2008, (b) Hotel Aria Gajayana bintang 4 di samping MOG yang dibuka pada Desember 2011, (c) SPBU Shell Kawi dibuka Maret 2019, maupun (d) Kantor PKK dan Dekranasda Kota Malang. Menyusul kemudian (e) Kantor Dinas Kepemudaan, Olah Raga dan Pariwisata Kota Malang pun dihadirkan ke areal ini, sehingga peruntukannya tak murni lagi untuk keolahra-gaan. Walaupun unsur sebutan mall tersebut “Olimpic” dan kendatipun hotel disampingnya bernama “Gajayana”, namun keduanya tidak terkait dengan olahraga.
Seiring dengan perkembangan kota, Stadion Gajayana kini berada di areal pemukiman pa- dat, dikepung pusat perbelanjaan, serta jalur lalu lintas yang padat. Kondisi demikian menjadikan Stadion Gajayana tidak representatif lagi untuk menggelar kegiatan akbar. Kendati demikian bukan alasan untuk merelokasikan stadion yang masih in site ini. Semoga areal- nya tidak dikepras lagi buat peruntukkan lain [selain sebagai prasarana dan sarana olahraga. Ada baiknya, desain mulanya yang berupa “sport center” untuk beragam jenis olahraga dihadirkan kembali pada masa sekarang dan mendatang. Dalam kaitan itu, pertanyaannya adalah “apakah Pemerintah Kota Malang me-miliki misi serta cukup nyali untuk merelokasi MOG, Hotel Aria Gajayana, SPBU, Gedung PKK maupun Dekranasda ke tempat lain?
Malang sebagai “kota pusaka (heritage city)”, hendaknya lebih mengutamakan kecagaran stadion Gajayana dalam menghadapi “godaan ekonomi” untuk mengalihfungsikan bentang lahan strategis di tengah kota ini bagi kepentingan lain yang non-sport ?. Semogalah mampu tahan goda. Nuwun.
Griyajar CITRALEKHA