Sekilas Sejarah Gedung Kesenian Gajayana Malang
Bagi masyarakat malang pecinta seni dan budaya, gedung ini punya banyak makna. Bukan saja dari bentuk bangunan dan fungsinya namun sudah juga pengalaman dan cerita seputaran gedung ini. Gedung yang dibangun dengan fasad seperti sekarang ini dibangun sekitar awal tahun 1960an. Memiliki corak arsitektur yang khas. Terlihat dari tarikan garis dan fasad arsitektural mencerminkan gaya pada periode jamannya. Tak banyak yang berubah dari fasad gedung ini kecuali pemanfaatannya.
Interior gedung ini dilengkapi dengan peredam dinding dan mempunyai balkon disebelah utara belakang penonton. Kursi penonton berkapasitas 700 kursi dimana 200 kursi berada di balkonnya. Untuk menuju balkon terdapat dua tangga yang menuju ke lantai dua, berada di sebelah barat dan timur. Gedung ini juga mempunyai ruang loket, toilet hingga ruang ganti pemain. Di belakang panggung juga disediakan ruang yang berfungsi sebagai persiapan penampilan dan terdapat akses masuk dari kiri dan kanan panggung. Kursi penonton pun dibuat berundak seperti amphiteater.
Gedung kesenian Gajayana ini sempat disebut sebagai gedung sekolah serba guna MaChung. Dimana yayasan perguruan dan pendidikan ini menaungi beberapa sekolah yang berada di sebelah selatan kawasan Pecinan Malang. Machung menggunakan gedung ini sebagai gedung pertemuan untuk memfasilitasi keperluan mereka. Hanya sesekali dipergunakan sebagai lokasi kegiatan berkesenian. Lebih banyak dipergunakan sebagai gedung sekolah Tjong Hwa Siek Siau THHK. Bangunan sekolah ini dibangun sekitar pertengahan tahun1930an, beberapa menduga pada tahun 1934 -1935.
Kegiatan berkesenian di kota Malang lebih banyak memanfaatkan gedung kesenian yang terletak di bilangan jalan Regentstraat (jalan Agus Salim) yaitu yang dikenal dengan gedung Flora. Dikemudian hari gedung ini berubah menjadi gedung Wijaya Kusuma. Sebelumnya sempat disebut gedung Kesenian Lokaria. Selanjutnya terjadi perubahan peruntukan ketika aktifitas kesenian menurun. Blok bangunan gedung Flora atau wijaya kusuma ini lalu dibagi-bagi dalam beberapa petak usaha seperti toko. Salah satunya adalah rumah makan Rawon Nguling. Gedung Flora ini pernah menampilkan Seni pertunjukan ketoprak Cipto Kawedar selanjutnya juga wayang wong dan ketopkrak popular Siswo Budoyo. Tak ketinggalan group Tonil, lawak sampe ludruk pernah pentas disna. Nama-nama beken dijamannya pernah tampil seperti ludruk wijayakusuma, Kardjo AC-DC, Soeroto Tokcer, Joni Gudhel, Abimanyu, Rudi Hartamin, Didik Mangkuprodjo, Beng-Beng Gentholet, Paimo, Jeng Sumiati dan Kwartet S.
Pasca pengakuan wilayah Indonesia oleh Belanda pada tahun 1950 maka mulailah terjadi nasionalisasi atas aset yang berada di kekuasaan eks kolonial yaitu gedung / bangunan peninggalan Belanda di Malang. Maka selanjutnya juga dilakukan nasionalisasi aset dari warga keturunan tionghoa. Tak ketinggalan pula gedung Machung dan gedung Tachung berubah pula penguasaannya. Pada saat itu gedung Machung juga dikenal dengan tempat yang dapat dipakai untuk perhelatan panggung gembira. Seperti contoh pada 14 – 16 Maret 1958 oleh P3RI cabang KPK Malang menggelar panggung gembira yang menampilkan bintang film dari 3 Dara antara lain Chitra Dewi, Mieke Widjaja, Indriatie Iskak (sitinjak). Serta diramaikan oleh bintang-bintang radio 1957 serta pemain musik dari Jakarta.
Organisasi P3RI (Persatuan Pegawai Polisi Republik Indonesia) sendiri beralamat di jalan Oro-oro dowo nomor 1 Malang. Kegiatan panggung gembira ini memberikan gambaran bahwa gedung machung sering digunakan oleh masyarakat untuk kegiatan seni budaya. Penyebutan kota Malang pun pada saat itu sebagai Kota Besar.
Perubahan status gedung-gedung yang dikuasai oleh komunitas Tionghoa marak terjadi pada periode 1965-1967 pasca peristiwa G30S. Sebagai contoh sekolah Gedung SMA 2 yang sebelumnya adalah gedung sekolah pendidikan tionghoa (Ling Hwa School) pun turut berubah menjadi sekolah negeri.
Pada tanggal 30 dan 31 Oktober 1965 di gedung Tjenderawasih Malang dilakukan event Malam Sejuta Bintang yang menampilkan Band Aneka Nada dari Bandung. Tampil pula bintang-bintang dari Jakarta, Bandung dan Surabaya. Sebut saja Maya Sopa (penyanyi surabaya), Marjam Sila (penyanyi jakarta) dan Ellen Puspita. Yang menarik bahwa tiket pertunjukan ini bisa didapatkan di kantor polisi Kom Res Malang disamping juga dapat dibeli di toko Tolaram, RRI Malang dan sebagainya.
Pada era pembangunan awal era Orde Baru atau akhir Orde Lama, gedung ini berubah nama menjadi Gedung Cenderawasih. Sebagai salah satu gedung akibat nasionalisasi dari aset masyarakat Tionghoa, penamaan ini juga menarik untuk didiskusikan. Beberapa seniman yang pernah tampil seperti Komedi Lokaria, Wayang Orang pancabudi, koes bersaudara, Varia Nada & Titik Puspa, Bagong Kusudiardjo & Wisnu Wardhana. Diawal 1970an Dara Puspita juga pernah tampil di gedung ini sebelum kembali ke jerman.
Berbagai pentas kesenian dan kebudayaan sering ditampilkan pada era 1970an-1980an, salah satunya adalah Wayang orang yang legendaris yaitu kelompok wayang orang (WO) Ang Hien Hoo. Kelompok ini secara reguler mementaskan pertunjukan wang wong dengan personil para penari dari warga keturunan Tionghoa. Di jaman itu warga Tionghoa sangat aktif melakukan kegiatan seni budaya, pada setiap penampilan WO Ang Hien Hoo selalu menjadi simpati dan penuh apresiasi dari masyrakat kota malang. Bisa jadi group kesenian WO Ang Hien Hoo adalah kelompok wayang orang satu-satunya yang diperankan oleh warga keturuhan Tionghoa di Indonesia.
Sempat juga menjadi tempat berkumpulnya para seniman dan budayawan, tak pelak juga gedung ini disebut sebagai Gedung Dewan Kesenian Malang (DKM). Beberapa aktifitas yang muncul adalah pameran lukisan, teater hingga pentas pertunjukan ketoprak Siswo budoyo. Almarhum Yongki Irawan dalam bukunya Nyi Putut menyebutkan bahwa Dewan Kesenian Malang pernah berkantor di Gedung Kesenian Gajayana jalan Nusakambangan. Sedangkan di buku Empat dekade Sejarah musik kota Malang disebutkan bahwa Dewan Kesenian Malang berkantor disana pada tahun 1974 – 1990.
Lembaga Kesenian Indrokilo sebagai pusat latihan dan kegiatan musik pernah menggelar Pergelaran Musik Gesek di Gedung Dewan Kesenian Malang jalan Nusakambangan nomor 19 Malang pada tanggal 6 Oktober 1985. Penyebutan gedung kesenian itu menggunakan nama Gedung Dewan Kesenian Malang, sebelum berubah menjadi gedung Kesenian Gajayana.
Renovasi selanjutnya yang cukup besar dilakukan pada era Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jawa Timur Soelarso. Dimana pada tanggal 13 Nopember 1989 telah dilakukan perbaikan yang dilanjutkan perubahaan nama gedung. Dari penamaan Gedung Cenderawasih berubah menjadi Gedung Kesenian Gajayana.
Selain sebagai gedung serbaguna, gedung ini acap kali dipergunakan oleh warga keturunan Arab untuk acara-acara pernikahan.
Pada sekitar akhir tahun 2016, di lantai dua gedung kesenian Gajayana (balkon) terletak Museum Musik Indonesia (MMI). Keberadaan MMI di gedung kesenian ini merupakan fasilitasi dari Walikota Abah Anton dan ditindaklanjuti oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Malang. Keberadaan MMI di gedung kesenian Gajahyana ini diperkuat dengan surat ijin pinjam yang dikeluarkan tanggal 1 Juli 2018. Berbagai koleksi alat musik, piringan hitam, kaset hingga memorabilia sejarah musik Indonesia ada disana. Keberadaan MMI di gedung kesenian gajayana berakhir pada tahun 2023 yang selanjutnya menempati Gedung Penunjang Museum Mpu Purwa dibawah Dinas pendidikan dan Kebudayaan kota Malang.
Saat ini Gedung Kesenian gajayana sedang mendapatkan renovasi dan reformasi pada pengelolaannya. Sehingga kedepan dapat dimanfaatkan untuk unjuk kreatifitas dan kebudayaan bagi warga kota Malang. (Djaja)