Art and Culturehistory

Temenggoengan Jaman Lawas, menelusuri jejak perkembangan kota Malang

Minggu pagi 21 Januari 2024 bertempat di bangunan Mason 52 jalan Aris Munandar nomor 52 diadakan diskusi publik lintas generasi dan komunitas. Tema yang diambil adalah Temenggoengan Jaman Lawas. Acara diskusi yang dilakukan di halaman bekas bangunan Freemason ini terasa gayeng dan seru. Banyak temuan-temuan menarik dalam diskusi minggu pagi ini. Hadir dalam diskusi adalah Lurah Sukoharjo, Ketua BKM Sunarsun, Ketua Karang taruna dan tokoh masyarakat Temenggoengan seperti Mochtar Argoms dan perangkat RT RW lainnya. Nampak juga akademisi ITN Budi Fathony, pemerhati sejarah dan budaya Agung H Buana, pemilik rumah Aris Munandar 62 yaitu Antoni dan komunitas pecinta sejarah lainnya seperti Aim arsitek, Ratna Arya, Bli Wayan, Sunaryo dan lainnya. Selain diskusi juga dilakukan building tour Mason 52, kunjungan ke situs Mbah Temenggung dan penampilan seni tradisional Caplokan naga.

Dalam pembahasan awal diketahui bahwa daerah Temenggoengan merupakan cikal bakal dari Kelurahan Sukoharjo. Dimana pada periode Desember 1979 hingga November 1980 terdapat perubahan status dari desa menjadi kelurahan. Saat itu Temenggoengan yang sebelumnya masuk dalam Linkungan II terbagi dalam 3 daerah kelurahan yaitu Sukoharjo , Jodipan dan Ciptomulyo. Selanjutnya Sukoharjo masuk dalam administratif kecamatan Klojen dimana terdapat 7 RW dan 57 RT. Dalam kehidupan sehari-hari, wilayah Sukoharjo sangat berkaitan erat dengan kehidupan perdagangan yang terkait dengan keberadaan Pasar Besar kota Malang.

Berbincang tentang sejarah lokal taklepas dari toponimi suatu daerah. Temenggoengan adalah sebuah daerah yang memiliki toponimi berasal dari nama sebuah jabatan pada suatu daerah. Di Kota Malang banyak menggunakan nama daerah berdasarkan vegetasi tanaman yang tumbuh dan berkembang didaerah tersebut. Sebut saja nama daerah Blimbing, Sukun, Janti dan lain sebagainya. Nama Temenggoengan tak lepas dari keberadaan penguasa Kabupaten Malang yang saat itu mendapatkan gelar temenggung. Sehingga tidak berlebihan bila daerah sekitar pendopo tersebut disebut dengan nama-nama yang berkaitan dengan kekuasaan. Sebut saja nama Kidul Dalem yang berarti sebelah selatan rumah penguasa, atau temenggungan yang merujuk pada daerah tempat Sang Temenggung tinggal atau berada. Bagi warga Sukoharjo nama temenggungan dikaitkan erat dengan keberadaan situs makam Mbah Temenggung yang berada dibelakang rumah Mason 52.

Menurut penuturan warga Sukoharjo yang tinggal dekat dengan situs tersebut, diyakini bahwa situs makam yang terletak di Aris Munandar Gang V tersebut adalah makam Temenggung yaitu Bupati Pertama Malang. Namun juga ada yang meyakini bahwa situs tersebut adalah petilasan atau makam semu yang berisikan pusaka dari seorang Temenggung yang dipermakamkan. Hal yang makin menarik adalah bahwa kenyataan di komplek Pemakaman Ki Ageng Gribig juga terdapat komplek makam Bupati Pertama, Kedua dan Ketiga dari Kabupaten Malang. “Di Komplek Pesarean Ki Ageng Gribig besemayam juga makam keluarga Bupati Raden Tumenggung Notodiningrat I yang menjadi penguasa Malang pada 1819-1839,” ujar Devi Arif. Dia yang juga ketua Pokdarwis Gribig yang juga seorang pemandu wisata menyambut adanya informasi ini dengan baik. Pernyataannya juga diperkuat dengan catatan referensi dari almanak Keluarga Besar Bupati Malang yang dimakamkan di Gribig. Tentu saja ini sangat menarik untuk menambah narasi tentang daerah temenggungan.

Berbeda dengan Antoni pemilik rumah heritage Aris Munandar 62 (Amun 62) bahwa berdasarkan laporan wartawan atau reporter ada hal menarik. Yaitu pada sebuah surat kabar berbahasa Belanda yang terbit pada 21 September 1922 menyebutkan keberadaan makam Notoadiningrat I yang berada di belakang Vrijmetselaar Loge (loji Freemason). Senada dengan hal tersebut, Mochtar tokoh temenggoengan menyatakan bahwa diatas situs mbah Tumenggung mempunyai aura magis yang kuat sehingga burung yang melintas diatasnya akan jatuh.

Sementara itu Budi Fathony menyampaikan konsep mesobase dan homebase atas daerah Temenggungan. Sebagai warga yang pernah tinggal di Klojen Kidul, dia mempunyai referensi bahwa daerah Temenggungan layak menjadi bagian heritage kota Malang. Terlebih lagi masih banyak tinggalan bangunan ODCB yang berada di sepanjang jalan Aris Munandar Malang. Bagi Irawan Prajitno bahwa daerah ini merupakan sumber inspirasi bagi warga kota untuk dapat menjadikan daerah temenggungan ini menjadi kawasan heritage. “Keberadaan rumah Mason 52, amun 59, Amun 60-62 dan amun 70 serta ANIEM merupakan bukti kawasan ini sangat istimewa,”ujarnya.

Selajutnya Bison Wibisono seorang penulis buku Rumah Potong hewan dan Hizbullah Malang menyatakan bahwa kehidupan di temenggungan tak lepas dari kehidupan yang keras di daerah Pasar Besar. Rata-rata yang memegang daerah Pasar Besar adalah anak-anak muda yang mbois dari kampung temenggungan. Mereka punya nyali yang tinggi dalam menghadapi situasi. “Pokok kalau menemui kesulitan kudu diatur nek ndak iso ya di “akal”, ini kan pinter atau cerdas, “ujarnya. Argom adalah cerminan mbois’e arek Temenggungan, mereka biasa bersepatu rapi pada setiap kesempatannya.

Diskusi semakin semarak ketika dalam acara tersebut juga tampil Sanggar Turonggo kuda lumping dari Kasin yang menampikan atraksi seni budaya disertai gamelan yang minimalis. Namun mampu membius peserta diskusi minggu pagi itu. Sebagai bentuk apresiasi terkumpul saweran untuk para pembakti seni tradisi hingga Rp. 535.000,- (lima ratus tiga puluh lima ribu rupiah). Padahal menurut salah seorang penampil seni tradisi ini, mereka ngamen paling banyak hanya Rp. 70.000,- hingga Rp. 45.000,- saja per hari. Tentu saja penampilan dalam diskusi Temenggungan Jaman Lawas ini menjadi berkah tersendiri.

Selanjutnya dalam building tour yang dipandu Arif DKS terungkap bahwa bangunan Mason 52 adalah loji freemason nomor 89. Dimana gedung tersebut yang dimiliki secara pribadi setelah gedung tersebut berpindah tangan sebelum keputusan Presiden tahun 1962. Dilantai dua gedung masih dapat ditemui ruangan ritual tarekot freemason yang berlantaikan ubin berwarna hitam dan putih. Kemudian tour dilanjutkan dengan kunjungan ke situs makam Mbah temenggungan sambil menikmati suasana kampung temenggungan.

Sementara itu Agung H Buana pemerhati sejarah dan budaya yang bertindak sebagai moderator diskusi juga menyampaikan bahwa daerah Temenggungan mempunyai potensi yang cukup besar sebagai destinasi wisata sejarah. “Kampung Temenggungan bisa jadi alternatif wisata hetitage selain Kayutangan, jaraknya pun tak jauh dari alun-alun Malang “tegasnya. Tentu saja hal ini sejalan dengan keinginan masyarakat Temenggungan yang telah bertekat memajukan daerahnya sebagai destinasi wisata heritage. Semoga rencana ini terwujud dikemudian hari. (aboe)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WeCreativez WhatsApp Support
Our customer support team is here to answer your questions. Ask us anything!
👋 Hi, how can I help?