Makna Kue Apem saat Megengan bagi masyarakat Jawa yang jarang diketahui
Sebagian masyarakat Jawa dalam menyambut bulan suci Ramadan mempunyai tradisi yang disebut Megengan. Dalam tradisi Megengan ini tak lepas dengan adanya jajanan dalam bentuk kue Apem. Sebenarnya apa sih hubungan kue apem saat Megengan bagi masyarakat Jawa yang kini jarang diketahui maknanya.
Masyarakat Jawa sejatinya adalah masyarakat yang suka bersedekah, terlebih sebagai umat Muslim. Dalam setiap peristiwa penting dalam kehidupan sering ditandai dengan sedekah makanan. Disajikan dengan berbagai jajanan pasar sebagai pelengkap. Ada sedekah bumi, sedekah laut, sedekah kelahiran hingga sedekah kematian. Kue Apem yang dipergunakan sebagai inti sedekah makanan tersebut memiliki arti sebagai tolak bala. Sehingga sedekah makanan tersebut juga dimaksudkan sebagai upaya menolak mara bahaya yang diwujudkan dalam berbagai makanan termasuk apem.
Kata apem sendiri dipercaya berasal dari kata “afuan, afwan atau afuwwun” yang dalam kosakata bahasa Arab berarti “maaf atau pengampunan”. Dengan menyediakan kue apem maka bisa dijadikan simbol bahwa pemberi sedekah berharap pengampunan atas permohonan maaf yang disampaikan kepada penerima sedekah. Simbol ini yang akhirnya disederhanakan dalam sebutan apem yang berartin permohonan maaf. Secara tersirat bahwa masyarakat Jawa telah menjadikan kue apem tersebut sarana pengampunan dan permaafan. Ketika kita jumpai kue Apem dalam tradisi tahlilan, maka Kue Apem tersebut mempunyai makna sebagai permintaan maaf atas dosa yang mungkin dilakukan kerabat atau keluarga yang meninggal dunia.
Khusus di acara Megengan menjelang bulan suci Ramadan, tradisi masyarakat Jawa dengan menyediakan kue apem dapat dimaknai sebagai simbol permintaan maaf menjelang ibadah puasa. Apalagi dalam bulan Ramadan dikenal sebagai bulan penuh berkah dan ampunan. Sehingga simbolisasi ini menjadi bagian permintaan maaf seseorang pada lingkungannya, terlebih bagi umat Muslim. Megengan sendiri bisa berarti kata menahan, dengan maksud selama Ramadan, umat muslim diminta untuk menahan diri termasuk menahan amarah dan lainnya.
Salah satu kelompok masyarakat di Kota Malang yang masih menguri-uri tradisi kebudayan Jawa berupa Megengan Apem adalah kelompok sadar wisata Kampung Religi Ki Ageng Gribig. Mereka secara bergotong royong mempersiapkan moment munggahan poso (kenaikan jelang puasa) dengan membuat kue apem. Proses pembuatan apem dilakukan di mushola Kanjeng Surgi komplek Pesarean Ki Ageng Gribig Madyopuro Malang.
Devi Arif ketua Pokdarwis Kampung Gribig Religi menyatakan bahwa tradisi Megengan atau punggahan poso ini merupakan wujud rasa senang gembira sekaligus sebagai penanda bahwa bulan puasa sudah tiba. “Kami menyediakan kue Apem sebanyak 240 kue yang dibagikan kepada peziah atau penggunjung pesarean Ki Ageng Gribig, “. Untuk membuat kue Apem dibutuhkan adonan berupa tepung beras, air, gula, telur dan sedikit tape singkong. Bahan baku kue Apem ini pun didapatkan dari sedekah dari masyrakat yang memiliki kelebihan rezeki. Sehingga selain peziarah yang datang banyak juga keluarga, rekan-rekan termasuk anggota pokdarwis menikmati kue Apem buatan bu Halimah.
Sungguh untuk melestarikan kebudayaan jawa disaat ini memerlukan perhatian khusus, mengingat tradisi ini sudah mulai pudar. Agung H Buana, pemerhati sejarah dan kebudayaan, menyatakan bahwa kekayaan budaya gastronomi masyarakat Jawa mempunyai ragam dan kompleksitas tersendiri. “Tiap tahapan pada peringatan budaya masyarakat Jawa mempunyai hubungan dengan rasa syukur yang diungkap melalui kuliner yang terkait erat dengan budaya agraris,”ujarnya. Sehingga perlu hadirnya institusi negara untuk mulai mendokumentasikan aktifitas budaya ini seperti yang termaktub pada hasil kongres kebudayaan Jawa ke III tahun lalu. (Djaja)