ARCA KEPALA NAGA : SUMBER INSPIRASI BAGI IKONOGRAFI KRIYA PAHAT BARONGAN
A. Khasanah BCB di Taman Hapsari
Siapa sangka bila di jantung kota Surabaya terdapat suatu taman yang memiliki nama arkhais, yakni “Taman Hapsari”. Unsur nama “Hapsari” tersebut diambil dar namai salah satu diantara sepasang makhluk surgawi (lazim disebut “Kaindran”), yakni “Hapsara-Hapsari”. Penamaannya yang demikian relevan dengan keberadaannya, padamsna terdapat arca-arca dewata, perangkat upacara di percandian maupun komponen bangunan candi. Salah satu BCB (Benda Cagar Budaya) yang terdapat padanya adalah sebuah arca monolith besar berupa Dhyani Buddha “Mahaksobhya” beserta inskripsi pada lapiknya. Arca yang populer dngan sebutan “arca Joko Dolok” ini adalah perwujudan atas pentabisan raja Kertanegara menjadi Jina
B. Arca Naga Nan Artistik dan Inspiratif
Terdapat sejumlah BCB lain yang berada di halaman tamannya yang rindang — berkat naungan dua buah pohon beringin besar, antara lain berupa arca Naga Arca aersebut dapat dijadikan referensi arkhais mengenai bentuk ikonografis bagi kriya pahat kayu “Barongan” alias “Caplokan” , yakni properti penting di dalam kompleksitas seni pertunjukan tradisional Jawa “Jaranan”. Artefak “Naga”, ini konon merupakan ujung pipi tangga suatu bangunan candi dari masa Singhasari atau mungkin masa Majapahit. Arca yang merupakan salah satu benda koleksi di Taman Hapsari alias “Taman Simpang” di seberang selatan Gedung Grahadii itu sayang sekali sejauh ini belum diperoleh infomasi pasti mengenai muasalnya.
Terlepas belum adanya kepastian mengenai daerah asal dan asal masanya, namun yang terang bentuknya yang teramat artistik, yakni ekspresif, proporsional dan ornamentik, serta terbilang masih utuh ini bisa dijadikan sebagai “sumber inspirasi” untuk pembuatan karya kriya masa kini. Misalnya, dalam membuat Barongan. Wujudnya yang (a) terbagi dua (atas dan bawah) — masing-masing dipahatkan pada bongkah batu jenis andesit sendiri-sendiri, (b) moncongnya yang memanjang, dan (c) mulut yang terbuka lebar sangat menginspirasikan Barongan, yang juga dipahatkan terpisah pada dua balok kayu.
Menurut saya, arca ini adalah salah satu arca naga berbahan batu terindah yang berhasil diketemukan di Jawa Timur — selain sepasang arca kepala naga di Candi Kidal dan di depan gapura candi bentar pada stus Islam di bukit Giri. Ikonografi Naga kedapatan hadir menguat pada era kemonarkhian yang berpusat di Jawa Timur, utamanya pada akhir masa Singhasari dan Majapahit, kemudian berlanjut hingga ke Masa Perkembangan Islam. Dalam sejumlah hal, naga menggantikan posisi dari “Makara (Gaja-Mina)” yang demikian pupuler pada abad ViII hingga medio abad XIII Masehi. Ternyata, Naga tidak hanya hadir di dalam mitologi dan seni pahat, namun dihadirkan pula ke dalam seni pertunjukan. Apabila dalam tari binatang (animal dance) Cina terdapat Lelang-leong, maka pada tarian Jaranan terdapat Barongan.
C. Sumber Inspirasi untuk Olahkreasi
Sumonggo berkenan untuk diolahkreasikan dan ditransformasikan dari artefak masa lalu menjadi artefak masa kini, dari kompoinen ujung pipi tangga candi menjadi properti bagi seni pertunjukan tari Jaranan. Kedepan, besar pengharapan bakal dihasilkan properti Jaranan, yang mendasarkan pada produk artefaktual arkhais, atau berakar pada jejak sejarah-budaya lokal Jawa. Lewat olahkreasi yang demikian, arkeologi-sejarah tidak hanya berkutat dengan nasa lalu (ML) dalam bentuk studi terhadap masa lalu (ML) untuk merekonstruksi peristiwa ML — dinamai “ML demi ML”, namun perlu pula mentransformasi khasanah budaya ML guna cipta kriya masa kini (MK) — dinamai *ML demi MK”. Demikianlah kiranya yang bisa dinamai”pembelajaran sejarah yang transformatif”.
Penulis : Dwi Cahyono (Arkeolog)