Art and Culturehistory

Mengenang Perjuangan Hamid Rusdi Pejuang Asli Malang

Siapa arek Malang yang tak mengenal tokoh Hamid Rusdi. Beberapa patungnya tersebar di taman-taman Kota Malang. Meskipun dia gugur pada tahun 1949 namun perjuangannya tetap dirasakan semua orang. Terlebih lagi warga Wonokoyo Kota Malang yang berkaitan dengan lokasi tertembaknya Hamid Rusdi. kini lokasi gugurnya Hamid rusdi bersama beberapa orang terrsebut dipangun sebuah monumen oleh kesatuan militer yaitu Batalyon 512 Marabunta. Dimana saat itu Mayor Hamid Rusdi merupakan komandan pertama kesatuan tesebut.

Berdasarkan buku biografi Hamid Rusdi yang diterbitkan oleh Bintaldam Kodam V Brawijaya pada tahun 1989 diketahui beberapa fakta mengenai Hamid Rusdi. Menurut catatan beliau dilahirkan di desa Sumbermanjing Kulon Kecamatan Pagak Kabupaten Malang pada hari Senin Pon sekitar tahun 1911. Dilahirkan dengan nama kecil Abdul Hamid dari pasangan suami istri yang bernama Roesdi dan Teguh (ibunya). Berkat kerja kerasnya orang tua Hamid Roesdi termasuk tokoh terpandang dan mampu menunaikan ibadah haji pada tahun 1939. Sehingga setelah berhaji nama ayahnya yakni Roesdi menjadi Haji Umar Roesdi.

Perjalanan kepahlawanan Hamid Rusdi dimulai pada masa pendudukan Jepang, dimana Hamid Rusdi sempat mengikuti pendidikan militer. Yakni pada Korps Perwira Pembela Tanah Air (Boei Giyugun Kembu Renseitai) di Bogor pada bulan Oktober 1943 hingga tamat pada April 1944. Sebelumnya dia menempuh pendidikan formal mulai Vorlks school di Sumbermanjing pada 1919-1922. Lalu Hamid kecil lanjutkan di Verlog school tahun 1922-1924 di Ngebruk. Pendidikan lanjutan pada Schahel school di Malang tahun 1925-1928. Sempat juga mendalami pendidikan pertanian di Walikukun di Madiun, dan selanjutnya MULO di Malang tahun 1931-1932.

Saat masih kanak-kanak hingga memasuki masa remaja, Hamid Rusdi juga aktif di dunia kepanduan yakni sebagai Pandu Ansor hingga menjadi Staf di Partai NU di Malang. Hingga akhirnya sempat bekerja menjadi Sopir di Penjara Lowokwaroe Malang pada masa awal pendudukan Jepang. Bekerjanya Hamid Rusdi sebagai sopir penjara dikarenakan dia punya keahlian sebagai montir dan pernah mengikuti sekolah Montir pada 1932-1933 di Malang.

museum renactor

Selanjutnya ketika Jepang membuka pendidikan militer bagi bumiputera pada tahun 1943, dia ikut mendaftar pula. Selesai dari pendidikan perwira PETA di Bogor, Hamid Roesdi ditugaskan sebagai Komandan Kompi kesatuan Daidan 1 di Malang dengan pangkat Cudanco. Pangkat ini setara dengan pangkat ketentaraan Letnan Satu. Tujuan dia mengikuti PETA (pasukan pembela tanah air) adalah untuk membela nasib rakyat yang saat itu menderita akibat perang. Sempat bertugas di Sumbermanjing wetan dan Glagah Aren sebagai perwira PETA. Saat itu pasukan paramiliter PETA merupakan pasukan sukarela yang dilatih Jepang untuk kepentingan perang Asia.

Sampai dengan kekalahan Jepang pada perang Asia Pasifik pada Agustus 1945, pemerintahan Jepang di Malang secara resmi baru menyerahkan senjata ke arek-arek Malang pada 3 Oktober 1945. Saat itu Hamid Rusdi telah berpangkat Mayor dengan jabatan Perwira Staf Divisi VII Untung Surapati sejak Agustus 1945 dibawah Komandan Batalyon BKR Mayor Acoeb Gulanggi. Dia termasuk yang bertugas merebut senjata tentara Jepang di Rampal Malang. Sempat terjadi ketegangan ketika pengambilalihan senjata Jepang tersebut. Penyerahan senjata ini memberikan kekuatan baru bagi Divisi Untung Surapati dibawah Mayjen Imam Sudja’i sebagai divisi paling lengkap persenjataannya.

Pada hari Sabtu Pon bulan Sapar tahun 1946 yang bertepatan pada bulan Januari, Hamid Rusdi menikahi keturunan Indo Belanda bernama Fichtor Schwarz atau Siti Fatimah. Pernikahan dilaksanakan secara islam di desa Tawangrejani Turen Malang. Sebelumnya Hamid Rusdi telah menikahi Saa’dah, namun istrinya meninggal saat pendudukan Jepang. Kehidupan Siti Fatimah (Fichtor Schwarz) dijalani sebagai istri seorang tentara yang hidup berpindah-pindag penuh tantangan. Pernah tinggal di desa Tawangrejani, lalu ke kota Malang (sebuah rumah pojok menghadap barat di jalan semeru dan jalan Bromo). Selanjutnya tinggal di Glagah Arum dan Sukorame Dampit lalu Sedayu Turen. Hingga akhirnya tinggal di desa Wonokoyo Tajinan. Sayangnya dari perkawinan ini tidak membuahkan anak keturunan Hamid Rusdi.

Perjuangan Hamid Roesdi sebagai perwira militer dipenuhi dengan banyaknya penugasan operasi. Saat bertugas sebagai perwira perbekalan Divisi VII Untung Suropati, Mayor Hamid Rusdi bertugas mengawal kelancara ekspor padi daerah Malang untuk di kirim ke India sebagai realisasi penjanjian tukar menukar komoditi atara india dan Indonesia pada Agustus 1946.

Selanjutnya awal tahun 1947, Hamid Rusdi mendapatkan tugas baru sebagai Komandan Batalyon I Resimen infanteri 38 Divisi VII Untung Suropati. Mendapatkan kenaikan pangkat sebagai Letnan Kolonel yang merangkap sebagai Komandan Pertahanan Malang di Pandaan Pasuruan.

Pada saat Agresi Militer Belanda I pada bulan Juli 1947, Letkol Hamid Rusdi mengkonsolidasikan semua potensi pertahanan di Malang serta membuat taktik bumi hangus bila Malang tak dapat dipertahankan. Selanjutnya juga menyiapkan rencana keamanan untuk pemindahan Pemerintahan Kota Malang ke daerah Sedayu Turen. Akibat dari perjanjian Renville maka daerah Turen merupakan daerah Republik yang dipergunakan sebagai pusat pemerintahan darurat bagi beberapa daerah. Yakni seperti Kota Malang, Lumajang, Pasuruan, Probolinggo, Besuki dan Bangil. Pasukan Letkol Hamid Rusdi sempat bertempur di daerah Wonocolo, Sidoarjo, Porong hingga Pasuruan dan Malang sebagai pertahanan akhir. Hamid Rusdi kerap menggunakan kendaraan Jeep untuk mengkonsolidasikan siasat bumi hangus di Malang dan persiapan mundur ke daerah Talok Turen. Dia pula yang memerintahkan untuk membakar gedung-gedung penting lainnya termasuk markas TRIP di Kasin. Selanjutnya Letkol Hamid Rusdi menyusun pertahanan di Bululawang.

Letkol Hamid Rusdi juga mengalami penurunan pangkat serentak bagi perwira angkatan perang Indonesia, sebagai implementasi program Rekonstruksi dan Rasionalisasi Tentara pada 4 Mei 1948. Sehingga Hamid Rusdi kembali menyandang pangkat Mayor. Jabatan yang disandangnya pada 28 Mei 1948 adalah Komandan Batalion 1 Brigade IV Divisi VII Untung Surapati yang berkedudukan di Sedayu Turen. KIni Batalion tersebut dikenal dengan Batalion infanteri Mekanis Marabunta 512 Kodam Brawijya. Dia juga menjadi komandan Komando Operasi Penumpasan PKI Muso wilayah Malang Selatan di Donomulyo pada bulan September – Nopember 1948.

Selanjutnya ketika Agresi Militer Belanda II dengan sandi Operatie Kraai pada 19 Desember 1948 – 5 Januari 1949. Di Malang, Mayor Hamid Rusdi melakukan siasat perang gerilya untuk menduduki wilayah pendudukan Belanda di Malang Timur. Sehingga Hmaid Rusdi diangkat sebagai komandan Sub Werkreise I wilayah Malang Timur. Berbagai aktivitas penyusupan dan pertempuran di wilayah Malang Timur memaksa Hamid Rusdi harus sering berpindah lokasi. Hal ini juga untuk menghindari kejaran mata-mata Belanda. Untuk mengkomunikasikan perintah operasi gerilya, Mayor Hamid Rusdi menggunakan bahasa walikan (malangan) sebagai cara mengelabui musuh. Penyusupan juga dilakukan dengan cara berbaur seperti rakyat biasa untuk meneruskan pesan-pesan dengan bahasa walikan. Hamid Rusdi dikenal sebagai komandan yang pemberani menyusup ke daerah musuh. Salah satunya adalah kesempatannya memantau situasi dengan cara bercukur rambut hingga ke daerah Gadang dilanjutkan pertemuan komandan di Gadang Gang VI pada siang hari.

Namun takdir berkata lain, pada tanggal 8 Maret 1949 dini hari di sebuah rumah daerah Sekarputih Wonokoyo, Hamid Rusdi digrebek tentara KNIL Belanda sebanyak 2 peleton bersenjata lengkap pada pukul 03.00 wib. Menurut penuturan Ustad Achmad Zaini warga Kalisari Wonokoyo, bahwa tak hanya Hamid Rusdi yang dibawa tentara Belanda. Namun juga Moesmari dan Yunus (menantunya). Operasi pengerebekan ini juga mengakibatkan tertangkapnya Letnan Ismail Efendi (ajudan) dan Abdul Razak (adik Hamid Rusdi) di rumah lainnya. Selanjutnya pada subuh tanggal 8 Maret 1949, kelima tahanan tersebut dieksekusi tentara Belanda di dekat jembatan Kalisari dekat sekarputih Wonokoyo. Setelah dirasakan aman maka pada pukul 6.00 pagi sejumlah warga mengamankan kelima jenazah tersebut. Nenek Buyut Ustad Achmad zaini yakni Mbok Rukayah atau Leginten turut merawat jenazah tersebut dan segera dikuburkan di pemakaman dukuh Kalisari Wonokoyo.

Hamid Roesdi gugur pada 8 Maret 1949 sekitar pukul 05.00 dengan sebuah ekseskusi yang dilakukan tentara KNIL terhadap 5 orang lainnya. Korban yang gugur yaitu Mayor Hamid Rusdi, Letnan Ismail Efendi, Moestari, Yoenoes, Abdul Razak. Beberapa kata-kata yang sering disampaikan Hamid Rusdi yaitu percaya pada diri sendiri, pantang menyerah, jangan mau berkompromi dengan Belanda dan tiada perjuangan tanpa pengorbanan, serta teruskan perjuangan.

Untuk mengenang dan menghormati jasa kepahlawanannya maka Makam Hamid Roesdi yang ada di dusun Kalisari Wonokoyo dipindah ke TMP Untung suropati Malang pada 15 Mei 1950 dengan penghormatan militer. Demikian sekelumit perjuangan Mayor Hamid Rusdi pejuang kemerdekaan aseli Malang. (djaja)

Tulisan sumber dari buku biografi Hamid Rusdi terbitan bintaldam V Brawijaya tahun 1989

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WeCreativez WhatsApp Support
Our customer support team is here to answer your questions. Ask us anything!
👋 Hi, how can I help?