Sekilas Sejarah Taman Indrokilo Malang
Bagi sebagian besar Arek Malang mungkin sudah tidak banyak lagi mengenal yang namanya Taman Indrokilo. Taman ini berada di tengah kota Malang dan masuk dalam kawasan Idjen Boulevard. Bila dipandang pada kondisi saat ini, lokasi Taman Indrokilo berada di belakang Museum Brawijaya Malang.
Taman Indokrilo ini merupakan taman yang memiliki sejarah panjang dan berhimpitan dengan sejarah Kota Malang. Pada era kolonial Belanda, Gemeente Malang ketika menyusun Bouwplan 5 dan Bouwplan 7 menempatkan taman yang luas di tengah-tengah proyek untuk ruang terbuka warga Idjen Boulevard. Hingga akhirnya taman tersebut pada tahun 1924 diberikan nama Smeroe Park atau Taman Smeru. Hal ini merujuk pada berada taman yang berada di ujung barat jalan Semeru. Dalam beberapa peta juga disebutkan bahwa taman Smeroe Park disebut dengan Beatrix Park pada tahun 4 Agustus 1938. Nama ini menggunakan nama seorang puteri keluarga kerajaan Belanda. Dimana saat itu dibangun monumen untuk Putri Beatrix yang di design oleh J.O. Ch Lang seorang arsitek Malang.
Penamaan ini juga mengalami perubahan pada era pendudukan Jepang di Kota Malang. Selama pemerintahan Jepang penyebutan Beatrix Park (Smeroe Park) diubah menjadi Taman Terauchi, karena Jalan Idjen Boulevard diubah menjadi Jalan Terauchi. Pemberian nama ini dimaksudkan untuk penghormatan kepada Hisaichi Terauchi, panglima penyerbuan ke asia tenggara tahun 1941-1942. Panglima Terauchi sendiri merupakan anak dari Terauchi Masatake Perdana Menteri Jepang periode 1916-1918. Namun beberapa pihak juga menyebutkan taman Smeroe tersebut sebagai taman Tanaka (Tanaka Park).
Batas-batas Taman Indrokilo bisa digambarkan pada bagian Utara yaitu Jalan Retawu (mulai pojokan Beatrix di sisi barat sampai dengan Museum Brawijaya di sisi timur). Lalu bagian Timur yaitu mulai Gedung Museum Brawijaya. Sedangkan di sebelah Selatan yaitu mulai Jalan Wilis Barat, Jalan simpang wilis (dulu sempat tanpa nama jalan) kearah kampung Klampok (Gading) Kasri dan jalan setapak ke kuburan Ngading. Di sisi barat juga melintas jalan lori (dalan lori) sejenis kereta pengangkut tebu dari kebun-kebun sekitar Sumbersari (daerah Pilang) dan Blimbing untuk dibawa ke arah pabrik Kebon Agung di selatan kota Malang.
Pada tahun 1960, Pemerintah Kotapraja Malang merencanakan penambahan fungsi taman Smeroe menjadi taman hiburan dengan fasilitas lengkap. Sehingga untuk itu dilakukan perubahan dan penambahan fasilitas. Namun hingga tahun 1970an taman hiburan tersebut lebih banyak dimanfaatkan sebagai pusat penyelenggaraan Expo dan pameran. Kegiatan ini biasanya dilakukan pada bulan Agustus- September setiap tahunnya.
Kebun dan Kolam serta sarana olahraga
Dibangun oleh Gemeente Malang untuk memenuhi kebutuhan fasilitas di kawasan pengembangan maka Taman Smeroe menjadi salah satu ikon kawasan baru di bagian barat Malang. Meskipun diawalnya hanya berupa tanah lapang dengan vegetasi terbatas namun seiring waktu mulailah dibangun fasilitas taman. Ditengah taman terdapat kolam kecil yang berfungsi sebagai resapan air atau Bozem. Rupanya tempat itu memang direncanakan semacam area penampungan air hujan sementara. Sedangkan saat musim hujan mulai muncul aliran air yang mengarah ke kolam. Banyak anak-anak kecil memanfaatkan aliran air tersebut untuk sekedar bermain atau mencari ikan kali. Di kolam tersebut sering pula dipakai untuk berwisata dengan rakit kecil. Malah sering terlihat anak-anak yang memancing ikan diatas pohon yang menjulur. Jadi ada semacam danau kecil, tempat banyak orang memancing kalau siang hari.
Dikemudian hari sebagian Taman Indrokilo juga dipakai sebagai kebun hortikultura. Warga kampung Klampok sering menyebutnya dengan pertanian. Banyak ditemui Pohon Jambu Biji, Pohon Mangga dan tanaman lain seperti aneka bunga dan kembang. Juga ada 2 (dua) buah pohon besar yang memiliki dahan menjulur merendah sehingga banyak yang bisa memanjat dan berlarian di dahan-dahannya (betul-betul berlarian) karena saking besarnya pohonnya. Sebagai bagian pengamanan maka lokasi taman ini dipagari kawat berduri keliling.
Era jaman kolonial Belanda
Taman ini merupakan bagian besar pengembangan kotapraja Malang melalui konsep Bouwplan 5 dan Bouwplan 7 pada tahun 1924. Dimana selain menyediakan fasilitas olah raga yang terpadu, juga dibangun beberapa taman sesuai dengan konsep Thomas Herman Karsten perancang kota yang menjadikan kotapraja Malang sebagai kota taman (garden city). Pembangunan taman ini dimaksudkan sebagai daerah resapan air hujan dan ruang terbuka hijau pada hunian di daerah Idjen Boulevard yang berkonsep rumah villa. Mengingat lokasi taman tersebut di ujung barat jalan Semeru maka dinamakan ruang terbuka tersebut dengan nama Smeroe Park. Namun belakangan diubah menjadi Beatrix Park. Lokasi taman ini semakin asri ketika terdapat kolam atau danau kecil di ujung taman Smeroe.
Era pendudukan Jepang
Perubahan signifikan di kotapraja Malang berlaku sejak penyerahan kekuasaan dari pemerintah kolonial Belanda kepada tentara pendudukan Jepang di Malang. Banyak gedung dan tempat tertentu berubah fungsi dan penamaan. Salah satunya adalah jalan Idjen Boulevard diubah menjadi Jalan Terauchi. Sehingga taman yang berada disebelah barat jalan tersebut menjadi taman Terauchi meskipun ada yang yang menyebut sebagai taman Tanaka. Disepanjang jalan Idjen juga masih bekum banyak kendaraan yang melintas sehingga keberadaan taman tersebut terasa asri.
Era kemerdekaan
Di awal jaman kemerdekaan pada periode tahun 1950-1960 di Kota Malang, banyak dilakukan rehabilitasi kota pasca perang. Kehidupan masyarakat diarahkan pada normalisasi kehidupan. Salah satu pemenuhan masyarakat adalah hiburan dimana pada tahun 1951 menggunakan taman Indrokilo. Sehingga pasar malam menjadi salah satu hiburan yang ditunggu masyarakat Malang. Apabila dilaksanakan pasar malam selalu ada permainan sepasang Raatmoelen dan Dreimoelen. Ada pula pertunjukan “tong setan” dan “bola maut”. Biasanya untuk menandakan adanya pasar malam dipasang pula Lampu ukuran besar (orang menyebut lampu Sokle) yang berputar menyorot ke seluruh penjuru Malang sebagai tanda ada expo atau pameran. Hal ini bisa ditandai oleh masyarakat Malang pada era tahun 1980an awal.
Expo / Pameran Pembangunan
Pasar Malam/ Expo pembangunan kerap dilaksanakan pada tiap Bulan Agustus-September di Taman Indrokilo dimulai sekitar tahun 1952. Meskipun berbayar bagi pengunjung namun ada saja yang menyelinap masuk ke arena expo dengan gratis. Biasanya yang banyak dilakukan adalah masuk dengan berpura-pura sebagai penjaga atau keluarga pemilik stand pameran. Namun tak sedikit pula yang melewati jalan tikus untuk masuk ke lokasi stan atau naik perahu kecil sebelah utara danau kecil.
Dalam arena stand pameran, tampak banyak stan dari berbagai instansi pemerintah ataupun swasta. Stan ditata berderet dan berjajar rapi. Tak ketinggalan pula banyak penjual makanan ringan seperti roti goreng, roti cakwee, heci, kue moho hingga roti kompyang. Juga ada Bakul pejual gulali, es puter, kacang / jagung / mlinjo rebus hingga tahu petis. Keriuhan dan keseruan di expo makin ramai ketika digelar pula permainan ketangkasan lempar bola, lempar gelang ke obyek seperti bebek dan botol. Belum lagi stan promosi rokok Jie Sam Soe 234 menampilkan salesman yang teriak-teriak tanpa pengeras suara. Betapa ramainya suasana seperti pasar malam tahunan.
Selaini itu ada pula tontonan khas expo pembangunan di taman Indrokilo seperti promosi Baterai ABC dengan orang cebolnya, pertunjukan Tong Setan, Rumah Hantu, Ular berkepala manusia, Rumah hantu, sepur odong. Lapangan taman indrokilo ini juga terkadang banyak debunya namun hal ini tidak menyurutkan niat pengujung Expo Pembangunan yang butuh hiburan. Selain itu juga Pasar malem pada disekitaran tahun 1970an sudah terkontiminasi hal-hal yang berbau undian bahkan gambling,
Pasar malam semacam expo pembangunan ini tempatnya selalu berpindah-pindah. Dahulu pernah diadakan di selatan Alun-alun ( sekarang kantor pos ), pernah juga di Stadion luar Gajayana, lalu pindah ke taman Indrokilo dan sempat bersambung dengan Museum Brawijaya.
Lembaga Kesenian Indrokilo
Pada pertengahan tahun 1982 dilokasi Taman Indrokilo tersebut didirikan Lembaga Kesenian Indrokilo yang disingkat LKI. Lembaga ini semacam wadah seni arek-arek Malang yang menempati bangunan tua di tepi taman. Tepatnya pada lokasi di bekas stand Expo belakang Musium Brawijaya. Bangunan sederhana tersebut sekaligus menjadi “markas” atau pusat perjumpaan pelaku seni di Kota Malang.
Lembaga Kesenian Indrokilo didirikan langsung oleh Dewan Kesenian Malang (DKM). Dimana yang ditunjuk sebagai Ketua Lembaga saat itu adalah Agus Hadisuryo. Lembaga Kesenian Indrokilo terlahirkan sebagai embrio dari Pusat Kesenian Malang (PKM) yang tertuang di Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD & ART) Dewan Kesenian Malang (DKM). Lembaga Kesenian Indrokilo sendiri dipimpin oleh seorang kordinator semacam manager. Dimana nantinya lembaga PKM tersebut menjadi Pusat Kegiatan dan Administrasi DKM.
Ada pembagian peran antara Lembaga Kesenian Indrokilo dan Dewan Kesenian Malang, dimana DKM bertindak sebagai lembaga Pemikir (Konseptor) dalam berkesenian. Selain itu DKM juga berperan sebagai jembatan hubung antara seniman dengan Pemerintah, dunia pendidikan, swasta dan masyarakat.
Panggung Terbuka di areal taman Indrokilo didesain sedemikian rupa sehingga dapat untuk menikmati pagelaran drama / teater seperti Warok Suromenggolo. Sempat pula ketoprak “Siswo Budoyo” manggung disana. Sehingga kelihatan perpaduan yang asri dan adem suasananya. Kadang kala juga ada konser Rock disana sehingga Taman Indrokilo menjadi tempat anak muda berekspresi dan berkebudayaan. Bagi yang menyenangi olahraga, disediakan juga lapangan basket dan lapangan olahraga lainnya.
Selanjutnya hingga pada tahun 1988 di awal periode Walikota Soesamto , Lembaga Kesenian Indrokilo pindah tempat dan boyongan kedaerah Janti di kelurahan kebonsari Sukun. Meskipun saat itu tempatnya dirasakan sangat jauh namun sebagian seniman tetap meneruskan hidup sebagai lembaga keseinian ditempat yang baru. Meskipun ada pula seniman yang menolak pindah dan kembali berkesenian di Dewan Kesenian Malang. Salah seorang seniman LKI yang pindah ke daerah Janti adalah almarhum Yongki Irawan yang bergelut diseni tari.
Sehingga pada akhir tahun 1989 itulah fungsi Taman Indrokilo berakhir dan berubah fungsi menjadi kawasan hunian. Dimana bila memperhatikan daerahnya masuk dalam kawasan Idjen yang dipandang elit maka bisa dibayangkan harga rumah yang berdiri diatas taman tersebut. Perubahan fungsi ini menjadi salah satu pemicu mulai hilangnya ruang terbuka di Kota Malang, belum lagi termasuk hilangnya Expo/ pameran di kawasan tersebut. (Aboe)