Yongki Irawan, Pengabdi Seni Malangan
Berkarya dan selalu bergerak dalam irama kebudayaan dan berkesenian menjadi bagian dari kehidupan seorang Yongki Irawan pengabdi seni Malangan. Sosok budayawan yang memiliki multi talenta ini tak pernah gentar dalam mengarungi kehidupan berkesenian di Malang Raya. Pria yang pernah menjadi Kordinator Hatur Agung Malangkucecwara Pertama pada HUT Kota Malang tahun 2020 ini adalah seorang pengabdi seni yang aktif, tekun dan konsisten. Dia juga menjadi pimpinan Sanggar Budaya Young-Q Malang dan bersama teman komunitas lintas budaya sempat gelar acara “simpang jalan simpang jaman” serta penggagas Balai Budaya Singhasari dan penggagas Pakaian Malangan.
Ditangannya lahir karya-karya tari yang sarat makna. Sebut saja Tari Pecut (1970), Tari Buruh Pelabuhan (1971) dan Tari Kampung Laut (1972) serta Tari Petik Apel (1974) yang menggambarkan ragam kehidupan dan dinamisnya masyarakat dalam berkesenian. Ada fenomena berkesenian pasca tahun 1965 dimana setelah kejadian peristiwa tersebut, banyak kegiatan seni budaya pun ikut hilang dari kehidupan masyarakat. Akibatnya, trauma tersebut menghilangkan banyak akar budaya lokal yang menjadi keagungan di masyarakat. Oleh karenanya Yongki Irawan terus menerus merawat dinamika berkeseniannya melalui cerminan aktifitas masyarakat sehari-hari.
Sehingga sekali lagi diciptakan Tari Kuda Lumping (1973), Tari Layang Layang (1977), Fragmen Kepompong (1975) Tari Golekan Kayu (1976) dan Fragmen Nyai Putut (2009) yang kesemuannya menunjukan keresahan Yongki Irawan pengabdi seni terhadap dunia kanak-kanak yang perlu diperjuangkan. Sehingga tak ayal dia pun disebut sebagai pemerhati serta pelestari permainan anak dan kesenian tradisional Nusantara.
Saat ini Mbah Yongki Irawan sedang memperjuangkan permainan anak tradisional. Dia memang figur pejuang seni yang tak kenal lelah memperkenalkan Nyai Putut. Sebuah permainan yang kerap digelar dalam kumpulan anak, biasanya dimainkan disaat padang mbulan atau kesempatan lainnya oleh anak-anak sebaya. Dikala itu permainan Nyai putut banyak digelar saat pesona permainan digital belum merambah ke tangan anak-anak. Mungkin ini salah satu bentuk keprihatinan Yongki Irawan yang melihat bagaimana anak-anak mulai gemar memainkan permainan modern dan menjauhi gelaran permainan seperti Nyai Putut yang dianggap jadul, kuno, mistis hingga tidak praktis.
Ditangan Yongki Irawan lelaki kelahiran Malang, 26 April 1951, gelaran permainan Nyai Putut tampil lebih segar dan berwarna. Apalagi narasi hypnoteraphy tentang Nyai Putut menjadi jembatan masa yang hubungkan kondisi kini dan masa lalu.
Berbagai aktivitas yang terkait dengan seni budaya hingga event kreatif telah diperkenalkan keberadaan Nyai Putut. Sehingga Nyai Putut menjelma menjadi permainan yang multi dimensi dan dapat diterima oleh semua kalangan. Perjuangan yang tidak mudah bagi Yongki Irawan seperti dia terjemahkan dalam tari Gamang (1987) dan pentas Teater berjudul “sebelum kehidupan dan setelah kematian” (1976).
Namun ketelatenan dan kegigihannya menjadikan Nyai Putut sebuah bagian dari warisan tak benda yang wajib diperjuangkan. Bagi pria yang berdomisili di jalan Janti Barat Padepokan 100 Malang ini, karakter Nyai Putut sangat relevan saat ini. Sifatnya yang ringan tangan dan rendah hati telah mendorong karakter Nyai putut semakin kental dengan implementasi kehidupan.
Yongki Irawan kini bukan hanya seniman namun juga menjelma menjadi sosok Nyai Putut dalam kehidupan modern. Berkarakter, piawai, dan sangat lihai dalam memainkan sugesti positif seperti pada permainan ini. Nyai Putut dan Yongki Irawan ibarat dua sejoli yang menyatu dalam naungan kehidupan berkesenian. Sehingga dikemudian hari penyatuan dua sejoli ini mampu menurunkan generasi penerus perjuangannya yang lebih tangguh menjajal jaman digital ini.
Pria kelahiran Bareng Tenes Malang ini punya beberapa keahlian yang tidak dimiliki oleh banyak orang. Salah satu dari sekian keahliannya adalah pencak dor yang digabungkan dengan permainan Nyai Putut yang berunsur hypnosis. Selain itu pengalaman menangani Musyawarah Seniman Dewan Kesenian Malang tahun 2022 sebagai Steering Commitee menjadikannya paham arti berkarya melalui kebersamaan dan sinergi antar generasi dalam berkesenian.
Suatu saat dia pernah berujar, “Umur saya sdh mendekati 72 tahun, ingin rasanya menumpahkan hasil laku kerja penelitian dan pengalaman saya membedah Karya Leluhur.” “Semoga keinginan saya tersambung dengan Generasi kini sehingga terlahir Generasi yang memiliki pengetahuan Peradaban akar budaya lokal menjadi keilmuan ” harapnya.
Adapun keahlian lain yang dikuasai Yongki Irawan selain Seni Tari adalah pencak silat, hypnosis, kartu tarot dan permainan anak tradisional. Di juga aktif dalam Pencak Silat Lesbumi dan Sanggar Tari Setowulan serta Dewan Kesenian Malang.
Salah satu karya Monolog Yongki Irawan berjudul SALOKO BADAR (2022)
“Caraka kuwaalik sungsang,
“Ma, ga, ba, tha, nga,
“Nya, ya, ja, dha, pa,
“Da, ta, sa, wa, la,
“Ka, Ra, ca, na, ha.
Buat sang Maestro Yongki Irawan, Teruslah berkarya meski kehidupan terbalik dan tetap menjadi inspirasi bagi generasi selanjutnya. (Ahar)