Rumah Makan WMH 1919, Kuliner Kenangan Kota Malang yang telah hilang
Berkunjung ke Kota Malang Jawa Timur rasanya akan lebih bermakna bila dibarengi dengan berwisata kuliner. Banyak ragam pilihan menu dan tempat makan legendaris di kota dingin ini. Tak sulit pula menemukan aneka hidangan dan masakan yang menggugah selera di kota yang dikenal sebagai kota Apel ini. Namun pilihan menu makanan pada era saat ini jelas berbeda dengan tempo doeloe. Bila dibandingkan pemburu kuliner saat ini sering menambahkan aspek lokasi atau experience pada suasana dan dekorasi tempat makan. Namun agak berbeda bagi penikmat kuliner pada masa lampau yang lebih mementingkan pada rasa dan authentik masakan.
Dimana salah satu tempat yang menjadi favorite bagi pelancong yang mampir di Kota Malang pada era tahun 1970an hingga 1990an adalah menikmati menu dari Rumah Makan WMH. Saat itu rumah makan WMH menjadi jujugan bagi pendatang termasuk mahasiswa dan warga sekitar Malang sendiri. Bisa dikatakan bahwa Rumah Makan WMH adalah salah satu perintis wisata kuliner di daerah Temenggungan Kota Malang. Kuliner didaerah ini dikenal sampai keluar kota, disamping itu ada Es Tawon, Ronde Angsle Titoni, Depot Hoklay (1946), Warung Brintik, Warung Rawon Nguling, dan lain sebagainya.
Rumah Makan WMH atau yang dikenal juga dengan Waroeng Ma’ Hadji didirikan sejak tahun 1919 atau kurang lebih 5 tahun setelah Stadblad gemente Malang ditetapkan. Warung pertamanya berada di daerah Pakisaji Kabupaten Malang, sekitar 8 kilometer arah selatan pusat kota. Kota Malang sebagai kotapraja yang didirikan karena pesatnya perdagangan Kopi dan Gula, tentunya banyak pedagang, pekerja hingga pelancong berkunjung dan mampir ke Kota Malang.
Pada saat itu bangunan Gemeente Huis (Balaikota) kotapraja Malang belum terbangun namun Warung WMH sudah berjualan. Apalagi lokasi Rumah Makan WMH atau Warung Ma’ Hadji ini berada di sebelah timur pendopo Kabupaten Malang menambah strategis lokasinya. Warung ini berada di tepat sebelah barat mulut gang II jalan Ahmad Dahlan Malang, hanya terpaut 2 (dua) bangunan saja. Dimasa era kolonial sesuai peta Belanda Bouwkas III jalan Ahmad Dahlan dikenal dengan nama jalan Djodipan Straat.
Hingga kini Gang II Ahmad Dahlan dikenal juga dengan Gang Mak Haji merujuk pada letak Warung Mak Hadji yang berada tak jauh dari mulut gang. Apalagi warga sekitar warung khususnya generasi lama masih menyebut Gang II ini sebagai Gang Ma’Hadji. Hal ini juga dikarenakan bentuk tanah yang didiami keluarga Ma’Hadji berbentuk huruf L. Sehingga ada yang menghadap di jalan Ahmad Dahlan dan satunya lagi berada di dalam gang 2 Ahmad Dahlan.
Antoni salah seorang warga Temenggungan Malang menyatakan bahwa Warung Ma’ Hadji adalah legenda kuliner Kota Malang di zamannya. “Dimasa puncak kejayaannya sekitar tahun 1970 hingga tahun 1980an, tampak banyak pejabat, artis hingga tokoh nasional menyempatkan mampir ke Warung WMH bila ke Malang,”ujarnya. Bagi pria berkacamata ini Warung WMH punya bahwa kenangan. Apalagi dalam prosesnya menyiapkan masakan, Mak Hadji masih menggunakan arang dalam proses memasaknya. Menu paling terkenal dari Warung Ma’Hadji ini adalah nasi abon yaitu nasi putih panas ditaburi abon sapi dan ditambahkan sambel serta lalapan. Supaya tidak kehabisan bisa pesan terlebih dahulu dengan menghubungi telephone nomor 3367.
Meskipun Warung WMH berdiri sejak tahun 1919 yang dimulai dengan berjualan makanan di daerah Pakisaji Kabupaten Malang, namun ketika pindah ke jalan Ahmad Dahlan (djodipan straat), Mak hadji tetap mempertahankan ciri memasaknya. Perpindahan dari Pakisaji ini pada awalnya menempati lokasi disisi selatan jalan, sehingga akhirnya mampu membeli lahan di sisi utara jalan Ahmad Dahlan.
Penyebutan Ma’ Hadji ini pun sebenarnya merujuk pada nama panggilan Ibunda H. Mismail pemilik warung. H. Mismail adalah pemilik warung WMH yang punya resep, konsep dan keuletan luar biasa untuk membesarkan warung ini menjadi rumah makan. Namun sayang ketika H. Mismail meninggal dunia, sejumlah anak-anaknya tidak ada yg meneruskan bisnis kuliner ini.
Salah satu anak almarhum H. Mismail yang bernama Budiono Mismail sempat pernah menjadi Dekan Fakultas Teknik Universitas Brawijaya Malang periode 1995-1998. Keturunan H. Mismail lebih memilih untuk mengembangkan ilmu pengetahuan daripada bisnis kuliner keluarga. Malah Budiono, salah satu putra almarhum H. Mismail atau cucu Ma’Haji sempat meraih program pendidikan tinggi Sarjana Teknik Elektro lulusan ITB tahun 1973 dan melanjutkan studi S2 di University of Colorado, USA. Sempat meraih gelar Ph.D dari University of New South Wales, Australia dalam bidang Electrical Power. Pada tahun 1997 beliau diangkat menjadi Guru Besar bidang Rangkaian Listrik. Beliau sendiri wafat pada 1 Maret 2019 dan dimakamkan di TPU Samaan Malang.
Bisnis kuliner Mak Haji juga tidak selalu lancar, pernah ada kejadian kebakaran kecil di Warung WMH namun tidak sampai menghanguskan seluruh bangunan. Apabila diamati lebih lanjut bahwa selalu ada nuansa religius dalam design warung ini, terutama mejanya yang memunculkan doa makan atau doa lain bertuliskan huruf arab.
Salah satu warga yang masih mengingat keberadaan warung legendaris ini adalah Junaedi, seorang pengayuh becak yang biasa mangkal di jalan Ahmad Dahlan menyatakan bahwa nyaris kisah kuliner legend WMH sudah terkubur selamanya. “Eman tidak ada yang peduli dengan Warung WMH ini apalagi penerusnya tidak ada yang tertarik di bisnis kuliner,”katanya menerawang. Padahal warung WMH tersebut sempat berkembang menjadi Rumah Makan WMH. “Banyak tokoh nasional yang mampir sekedar menikmati Nasi Abon,” kenangnya. Sepertinya banyak generasi muda sekarang ini tidak ada yang tahu keberadaan warung legendaris ini.
Sebelum jadi Warung WMH, rumah yang terletak di jalan Ahmad Dahlan atau Djodipan Straat ini pernah jadi tempat berkumpul para perantauan asal Kudus Jawa Tengah yang merantau ke Malang. Mereka berdagang barang-barang keperluan religi seperti songkok, tasbih dan baju serta mukena. Selain itu ada pula yang menjadi pekerja rokok mengingat Kudus merupakan pusat industri rokok tembakau yang terkemuka saat itu. Mereka menularkan ketrampilan mengolah tembakau kepada warga Tionghoa untuk membuat rokok. Masuknya warga Kudus ini sekitar awal tahun 1900 dan tinggal dikawasan yang saat ini dikenal dengan sebutan daerah Kudusan Malang.
“Kedatangan warga Kudus Jawa Tengah ke Malang pada awal abad 20 ini mendorong bisnis rokok tembakau berkembang di Malang, selain bertujuan untuk berdagang,” jelas Agung H. Buana pengamat sejarah dan pariwisata ini. Industri rokok warga tionghoa berkembang di awal 1900an ditandai dengan berkembangnya rokok Bentoel di kawasan Ureg-ureg atau jalan Wiromargo.
Dalam sebuah dokumentasi terakhir sebelum warung ini dibongkar, masih ada sisa tulisan “rumah makan” di fasad bangunannya. Ini berarti memang terdapat perubahan status dari sekedar warung makan menjadi Rumah Makan yang terkenal di jamannya. Bagi Arief DKS, pegiat arsitektur kolonial, penambahan tanda tulisan kayu tertuliskan rumah makan ini memberikan tanda adanya perkembangan bisnis kuliner Ma’Hadji.
Seorang loper koran yang berjualan di depan Warung WMH sekitar tahun 1970 an, menyatakan bahwa kalau ada kerabat teman/relasi dari luar kota ke malang, selalu ditanya tentang keberadaan warung ini. “Udah ke Ma’ Hadji apa belum? karena belum ke Malang kalau belum mampir ke Warung WMH.” ceritanya.
Sebelum lokasi rumah makan Warung WHM berpindah tangan dan dibongkar, pada suatu hari sekitar sekitar 1 – 2 tahun yang lalu, pernah ada orang Tionghoa dari Surabaya turun dari mobil cari keberadaan Warung WMH tersebut. Terlihat kebinggungan sehingga Junaedi yang mangkal didekat situ mengampiri mereka. “Orang itu cerita bahwa dulu pertama kali kenalan sama istrinya ya di Warung WMH, jadi sekarang mau sekedar nostalgia,” tutur Junaedi. Bisa dibayangkan bahwa ternyata bahwa warung ini penuh kenangan. Tidak hanya menikmati kuliner nasi Abon tapi juga tempat berkenalan warga Tionghoa hingga mendapat jodoh.
Namun kondisinya sudah berubah saat ini sedang berlangsung pembangunan ruko 2,5 lantai dilokasi bekas rumah makan warung WMH. Oleh pemilik barunya seorang pensiunan polisi, dilokasi itu akan dipergunakan untuk bisnis lain. Warga sekitar mengenalnya sebagai orangnya sangat low profile meskipun berpangkat.
Mudah-mudahan meskipun bisnis kuliner Warung Ma’ Hadji sudah hilang namun kenangan atas Warung WMH tidak pernah luntur sepanjang jaman. (djaja)