Daily lifeurban malang

Makna Imlek Bagi yang 6 Tahun Tak Rayakan.

Saat ini perayaan imlek bagi masyarakat Tionghoa merupakan suatu momentum yang membahagiakan daripada sebuah tradisi. Mengapa demikian, justru di saat Imlek kebahagiaan keluarga tercurahkan dalam perayaannya. Terlebih dari keluarga besar sudah jarang bertemu satu sama lain karena kesibukan. Makna Imlek juga memberikan semangat baru untuk terus maju di tahun yang baru. Seperti pergantian musim semi yang mengiringi perayaan Imlek menandakan perubahan baru dalam kehidupan.

Tahun baru china tahun 2023 ini adalah makna imlek tahun kelinci air yang dianggap sebagai tahun penuh keberuntungan, keteduhan, peluang dan rezeki. Apalagi bagi orang yang bershio macan, shio kuda dan shio monyet tahun kelinci ini ada cuan keberuntungan bagi mereka. Perayaan makna imlek tahun kelinci ini juga menandai pergantian tahun yang bermakna positif bagi kesadaran jiwa warga Tionghoa.

Lain halnya bagi NRRos atau disebut saja Bunga. Momentum makna imlek tahun kelinci ini terasa sangat special. Makna Imlek tahun kelinci kali ini adalah imlek perdana setelah lebih dari 6 tahun dia habiskan waktu di Lembaga Pemasyarakatan Perempuan (LPP) Malang.

Adalah tradisi dari keluarga besar Bunga, perayaan imlek diisi dengan pertemuan keluarga semacam silaturahmi. Berbagai makanan digelar ditengah-tengah ruang keluarga. Mulai dari makanan atau jajanan khas tionghoa. Dan aneka kuliner lain yang hanya didapatkan saat Imlek saja. Kuliner khas Tionghoa yang biasa dinikmati saat imlek seperti kue keranjang, telor hitam, kue bulan, mie umur panjang hingga aneka buah import.

Keluarga besar Bunga menikmati Imlek perdana ini di rumah pamannya yang paling tua dari keluarga ibunya. Semua keluarga besar hadir mulai paman, bibi, keponakan hingga cucu keponakan hadir semua. Acara keluarga ini dimulai dengan saling memberi salam Yonghie sesama keluarga khususnya hormat kepada yang paling tua. Selanjutnya adalah pembagian angpao yang ditunggu-tunggu oleh anak-anak dan yang masih dianggap perlu menerimanya.

Ada yang berbeda saat pembagian angpao bila dibandingkan tahun-tahun ketika Bunga kecil. Saat itu semua anak-anak berjajar rapi lalu para tetua termasuk orang tua memberikan angpao kepada semua anak yang berbaris tersebut. Sehingga kemungkinan setiap anak bisa mendapatkan lebih banyak dari angpao, termasuk dirinya saat kecil sering berkesempatan minta angpao lebih ke paman dan bibinya. Maklum paman bibinya akan kesulitan mengenali keponakan mana yang sudah menerima dan mana yang belum menerima.
Namun saat ini pembagian angpao dibuat sistem dimana tetua seperti paman dan bibi memanggil para orang tua dari anak-anak kecil tadi dan memberikan angpao melalui orang tua untuk dibagikan ke anak-anaknya. Sesuai jumlah anak dan ditanggung tidak double-double lagi.

Setelah angpao dibagikan biasanya ada wejangan dari tetua keluarga dan dilanjutkan makan bersama atas hidangan yang ada. Tiap keluarga saat Imlek ketika hadir ke rumah keluarga biasanya membawa makanan juga. tentunya jumlah dan ragam makanan imlek semakin beragam. Setelah kenyang menikmati hidanganitu mulailah mereka menghabisakan malam imlek dengan berbagai permainan.

Sekarang permainan yang digelar adalah permainan yang dapat mendekatkan kembali kerukunan antar keluarga. Imlek tahun ini yang jadi permainan favorite keluarga Bunga adalah permainan serok uang seperti yang viral di Tiktok. Mereka membuat lingkaran lalu disebar uang dalam baskom dan secara bergiliran peserta serok cuan mengambil uang dalam baskom dalam keadaan mata tertutup. Proses pengambilan uang dengan mata tertutup ini menjadi tantangan sendiri apalagi ditambah riuh rendah candaan para keluarga lainnya. Sungguh seru permainan ini apalagi bagi masyarakat Tionghoa, permainan ini memberikan pelajaran bahwa mencari cuan (keuntungan) itu perlu proses, perjuangan dan ketelatenan serta faktor keberuntungan.

Inilah salah satu sebab mengapa dalam perayaan Imlek, setiap orang Tionghoa berharap adanya keberuntungan di tahun baru. Keriuhan permainan ini ditutup dengan permainan khas Tionghoa yaitu menyulut petasan dan kembang api. Ini adalah momentum puncak kegembiraan mereka di malam Imlek. Bunyi petasan yang memekakan suara justru menambah keriuhan dalam kehangatan keluarga. kembang Api yang berwarna warni menambah semaraknya malam. Apalagi ketika seorang pamannya membawa durian musangking ditengah-tengah keluarga. Kecerian dan keramaian berlanjut dengan menikmati daging buah durian yang terkenal enak, legit dan tebal dagingnya. Sungguh special perayaan Imlek bagi keluarga besar Bunga ini.

Namun hal ini berbeda buat Bunga ketika dia masih berstatus sebagai warga binaan Lembaga Pemasyarakatan Perempuan Malang. Dia terlibat dalam kasus perbankan dengan putusan hukuman kurungan selama 13 tahun. Artinya sebagai etnis Tionghoa, Bunga akan menjalani hukuman selama 13 tahun atau sebanyak 13 kali perayaan Imlek. Namun dengan berbagai remisi dan potongan hukuman yang dia dapatkan, akhirnya Bunga menjalani kurungan selama 6 tahun saja. Ini artinya ada 6 kali perayaan Imlek yang dia lalui tidak bersama keluarganya. Sehingga bisa dibayangkan betapa sedih dan keharuan yang dirasakan Bunga.

Saat masih di dalam lembaga pemasyarakatan ia habiskan masa hukumannya dengan bertugas sebagai taping di poliklinik. Semacam tenaga tambahan di poliklinik yang berasal dari tahanan. Dia jalani baik ketika masih di LP Blitar hingga di LPP Malang. Bertugas sebagai taping poliklinik merupakan anugerah yang besar baginya. Kehidupan yang sederhana dan apa adanya menjadi motivasi baginya untuk memperbaiki diri dan mentalnya.

Saat pertama kali ditahan di Lembaga pemasyarakatan, sebenarnya dia barusan melahirkan. Bayinya yang baru berusia 2 bulan terpaksa dia tinggalkan di rumah ibunya. Bunga adalah seorang ibu yang mempunyai 3 orang anak. Saat dia memulai menjalani hukuman, anak pertamanya berusia 8 tahun, anak kedua 3 tahun dan yang paling kecil baru 2 bulan. Proses ini dia jalani dengan ikhlas, jauh dari keluarga dan rekan sejawat. Kebanyakan anak-anaknya dipelihara oleh ibunya, mengingat suaminya adalah seorang volunteer gereja yang larut dalam tugas pelayanan.

Perayaan Imlek di Lembaga Pemasayarakatan Perempuan tentu berbeda dengan perayaan diluar LP. Setiap malam Imlek, Bunga dan beberapa warga binaan lain yang berasal dari etnis Tionghoa menyempatkan untuk berbagi kebahagiaan. Caranya adalah membagikan sedikit makanan kepada warga binaan lain, suatu hal yang sama dilakukan saat ada perayaan hari besar lainnya. Namun keceriaan dan keriuhannya sangat jauh berbeda bila dibandingkan diluar lembaga pemasyarakatan. Hidangan perayaan Imlek pun hanya dengan sajian tahu goreng atau teh manis panas saja. Namun semua itu tetap dia syukuri. Dari situ Bunga belajar arti kesederhanan dan rasa bersyukur. Perayaan Imlek semacam itu dijalani hingga 6 tahun lamanya. Hingga saatnya tiba di pertengahan 2022 dia merasakan udara kebebasan.

Adalah mamanya yang seorang diri datang menjemput hari kebebasannya. Perasan haru dan bahagia pun pecah dalam dekapan seorang ibu. Mamanya telah mengisi peran seorang ibu bagi ketiga anak-anaknya. Perjuangan mental yang sangat berat buat wanita berusia 73 tahun ini. Hal yang pertama dia lakukan adalah meminta maaf kepada ibunya. Dalam kendaraan yang membawa mereka keluar dari lembaga pemasayrakatan dipergunakan untuk mengganti semua pakaian yang melekat didirinya. Itu semua adalah permintaan ibunya. Tak pelak lagi, mulai pakaian dalam, sepatu hingga pakai yang dia kenakan semua dicopot dan dijadikan dalam satu kantong untuk di “buang” atau dilarung ke sungai Brantas. Sebagai gantinya mama telah membawa perlengkapan pakaian dan lainnya yang kesemuanya berwarna merah, warna khas keberuntungan Tionghoa. Selain itu mamanya juga memotong rambutnya, untuk buang sial menurut kepercayaan. Sehingga dia pun pergi ke salon untuk merapikan rambutnya dengan berdandan dengan pakaian warna merah. Pendeknya dirinya dilingkupi warna kebertuntungan yakni warna merah.

Ada pula kepercayaan lain bahwa orang yang baru keluar dari tahanan sperti dia, tidak langsung boleh masuk rumah. Hasilnya dia selama 3 hari berada di hotel untuk bertemu keluarga. Sehingga akhirnya dengan sedikit ritual kecil, Bunga dapat masuk ke rumah. Keceriaan keluarga bertambah saat anak-anaknya memeluk erat seolah tak mau lagi kehilangan ibunya. Kabar lain yang dia syukuri adalah selama masa hukuman, tak ada satupun anggota keluarga yang meninggal dunia. Karena bagi Tionghoa saat berjumpa keluarga adalah saat perayaan imlek dan apabila ada yang meninggal dunia, itupun bertemu di rumah duka.

Saat ini Bunga memulai kehidupan baru, apalagi disaat Imlek tahun ini dia merakan banyak keberuntungan sejak keluar dari Lembaga Lemasyarakatan. Mulai dari ketemu sahabatnya saat kuliah, sebut saja Melati yang asli Madura hingga akhirnya bekerja di pabrik yang sama dengan sahabatnya itu. Bagi Bunga menjalani kehidupan itu cukup dengan memandang kedepan dan terus maju. Masa lalu adalah pelajaran hidup yang sangat berharga.

Imlek kali ini adalah momentum bagi dirinya untuk terus bebagi kepada sesama manusia. Tidak hanya berbagi angpao namun juga berbagi suka dan duka. Tahun kelinci air ini akan dia maknai sebagai tahun keberuntungan karena dia bisa memperingati Imlek bersama keluarga. Juga berati rezeki dan peluang untuk terus maju mengganti kebahagiaan yang telah dia tinggalkan selama di lembaga pemasyarakatan. Serta keteduhan yang berarti dia berharap dapat menjadi peneduh bagi keluarga besar termasuk ketiga anak-anaknya.

Imlek yang sempurna bagi Bunga, mantan warga Binaan LPP Kebonsari Malang, seperti yang dia tuturkan bersama Pembimbing Kemasyarakatan Madya, Nurul Farida, S. Psi dari Balai Pemasyarakatan (BAPAS) Malang didampingi Agung Fajar Utomo, SH, Kepala Urusan Kepegawaian dan Koordinator Humas Balai Pemasyarakatan Kelas I Malang. (Ahar)

.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WeCreativez WhatsApp Support
Our customer support team is here to answer your questions. Ask us anything!
👋 Hi, how can I help?