Memahami Peran dan Fungsi Balai Pemasyarakatan (BAPAS) Malang
Belum banyak masyarakat Kota Malang yang mengetahui kehadiran dan peran Balai Pemasyarakatan (BAPAS) Malang. Kantor Balai Pemasyarakatan (BAPAS) Malang Kelas I berada di Jalan Barito Nomor 1 Bunulrejo Kecamatan Blimbing Kota Malang yang bersebelahan dengan Lembaga Permasyarakatan (LAPAS) Kelas I Kota Malang.
Masyarakat sebagian besar hanya memahami sebutan LAPAS sebagai sebutan dari penjara. Selebihnya lagi kurang mengetahui perbedaan antara Rumah Tahanan Negara (RUTAN), Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS), Balai Pemasyarakatan (BAPAS), dan Rumah Penyimpanan Barang Sitaan Negara (RUPBASAN) beserta fungsinya. Kali ini akan coba dikupas peran dan fungsi BAPAS.
Merujuk pada Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2015 tentang Pengamanan Pada Lapas dan Rutan, Bab 1 Pasal 1 Ayat (1), Lapas adalah tempat penyuluhan pembinaan bagi narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan. Sementara itu, berdasarkan Pasal 1 ayat 4 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, BAPAS adalah lembaga pembinaan masyarakat dan pembinaan anak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku memberikan layanan bimbingan kemasyarakatan dewasa dan pengentasan anak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Menurut Pembimbing Kemasyarakatan Madya, Nurul Farida, Sp.Si mengatakan bahwa BAPAS memberikan penyuluhan berkelanjutan dengan menggunakan teknik pendampingan psikologis, karena sebagian besar kasus yang dihadapi BAPAS adalah “pelaku kenakalan remaja”. Secara kelembagaan BAPAS dibawah Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia (Kemenkumham RI).
BAPAS juga bekerja sama dengan Departemen Sosial untuk memberikan bimbingan dan pengawasan rutin secara kekeluargaan. Selain itu BAPAS memberikan pembinaan kepada pelaku yang dibebaskan bersyarat, terpidana, anak pidana dan anak negara yang dibebaskan bersyarat atau cuti menjelang bebas. “Anak Negara yang berdasarkan putusan pengadilan, pembinaannya dialihkan kepada orang tua asuh atau badan sosial berdasarkan Keputusan Menteri atau pejabat di lingkungan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan yang ditunjuk,” ungkapnya.
Dalam kesempatan tersebut Agung Fajar Utomo, SH, Kepala Urusan Kepegawaian dan Koordinator Humas Balai Pemasyarakatan Kelas I Malang turut menjelaskan bahwa BAPAS lebih menekankan pemantapan pembinaan sehingga diharapkan anak anak yang sudah dibina akan menjadi generasi bangsa yang memiliki kwalitas berbibit, berbobot dan berbebet.
Balai Pemasyarakatan memiliki 2 (dua) jenis atau klasifikasi (Klas I dan II) yang merepresentasikan lokasi, beban kerja dan cakupan wilayah, namun pada dasarnya memiliki peran dan fungsi yang sama bagi Pemasyarakatan. Fungsi pertama yang dimiliki dalam Bapas yaitu menjalankan penelitian kemasyarakatan sebagai dasar peradilan. Kegiatan ini bertujuan untuk mengetahui data dan latar belakang yang dimiliki klien pemasyarakatan sehingga membantu dalam memutuskan program bimbingan dan pembinaan untuk klien pemasyarakatan.
“Penelitian kemasyarakatan juga diperlukan untuk sidang peradilan anak yang sedang berkonflik dengan hukum (ABH) yang tujuannya adalah untuk mengetahui latar belakang dan faktor-faktor dari perbuatan kriminal anak. Baik yang berasal dari perilaku dalam diri anak (internal) seperti perilaku anak dalam keluarga dan lingkungan sekitar anak. Serta faktor luar diri anak yaitu keluarga dan lingkungan masyarakat sekitar, seperti perilaku orang tua dalam mengajar anak dan perilakunya terhadap anak,” ujar Nurul dengan semangat.
Menurutnya hasil dari penelitiannya berfungsi untuk dijadikan dasar pertimbangan hukum dalam memutuskan status perkara yang dihadapi oleh anak. “Fungsi kedua yang dimiliki dari bapas adalah regiastrasi terhadap warga binaan yang menjadi klien pemasyarakatan, jangan sampai nama seseorang masuk dalam daftar hitam, yang artinya klien tersebut bolak-balik menjadi warga binaan,” jelasnya.
“Paling banyak dalam kasus penanganan kami adalah kenakalan remaja, perudungan dan perilaku seksual anak serta kekerasan antar anak” katanya. “Namun kami tidak langsung menjudge anak ini bersalah, tapi mencari fakta dari sisi psikologis,” tambah Nurul. Serta bagaimana kejadian bermula. “Karena korban tidak selalu harus dibela, dan pelaku tidak selalu harus disalahkan, sebelum mengetahui duduk perkara kejadiaan,” tutupnya. (DEWI)