Hotel tertua, saksi lintasan sejarah kota Malang
Menikmati keindahan kota Malang, rasanya kurang pas kalo kita tidak memahami bagaimana sejarah kota ini dibangun. Pada awalnya daerah Malang merupakan bagian dari Karesidenan Pasuruan, dimana sejak 1819 wilayah Karesidenan Pasuruan terbagi dalam 3 daerah yaitu Bangil, Malang dan Pasuruan sendiri. Selanjutnya pemerintah Kolonial menempatkan seorang Belanda menjadi Asisten Residen yang berkedudukan di Malang. Disamping itu ada struktur pemerintahan Kabupaten di Malang yang dipimpin oleh seorang bumiputera untuk menjadi Bupati. Sehingga Bupati Malang pertama adalah Raden Tumenggung Notodiningrat I yang diangkat oleh pemerintah Hindia Belanda berdasarkan resolusi Gubernur Jenderal nomor 8 tanggal 9 Mei 1920 dengan dokumen Staatblad Nomor 16 tahun1819.
Pertumbuhan Kota Malang saat itu tidak lepas dengan pergerakan ekonomi yang terjadi atas kebijakan kolonial pasca Perang Jawa tahun 1925-1830. Untuk menutupi defisit anggaran pemerintah kolonial akibat perang semesta yang dikobarkan oleh Pangeran Diponegoro maka diluncurkanlah kebijakan tanam paksa (cultuurstelsel). Dimana daerah Malang juga dilakukan penanaman besar-besaran berbagai komoditas primadona pasar Internasional seperti Kopi, Tebu. Sehingga Afdeling Malang atas kebun Kopi membawahi daerah Ngantang, Penanggungan, Turen, Karanglo, Gondanglegi, Kepanjen, Pakis, dan Kota Malang. Kolonial Verslag pada 1890 menyebutkan Afdeling Malang sebagai wilayah penghasil kopi terbesar di Jawa Timur. Volume produksinya mencapai 143.173 pikul pada 1887 sampai 1889. Sementara di Banyuwangi-Jember, Probolinggo, dan Jombang masing-masing hanya menghasilkan 13.630 pikul, 22.098 pikul, dan 4.332 pikul. Hal ini pula yang menyebabkan perekonomian Afdeling Malang meningkat pesat.
Belum lagi pertumbuhan pabrik gula di Pasuruan yang bertambah hingga terdapat belasan pabrik gula yang tentu membutuhkan sumber daya yang cukup besar. Sehingga pencarian lahan dan kesiapan tenaga kerja telah mendorong kolonial untuk dilakukan eksplorasi ke arah selatan Pasuruan. Maka pilihan saat itu yang paling memungkinkan adalah daerah Malang menjadi pilihannya. Sehingga berduyun-duyunlah ekspatriat Belanda menuju Malang. Jarak Pasuruan dan Malang sekitar 50.84 km atau 31.52 mil merupakan perjalanan yg cukup berat saat itu. Proses migrasi di Afdeling Malang terus berlangsung hingga memasuki abad XX. Sekitar 20 tahun setelah 1890, daerah Malang mengalami pertambahan penduduk Eropa dan Tionghoa cukup pesat. Berdasarkan laporan Kolonial Belanda pada 1916, pertumbuhan penduduknya masing-masing sekitar 150 persen dan 40 persen.
Melihat situasi saat itu sekitar tahun 1860 seorang kebangsaan Belanda kelahiran Leiden bernama Abraham Chr Lapidoth (1836-1908) memutuskan mendirikan penginapan atau sarana akomodasi bagi pekerja perkebunan dan pelancong dari Pasuruan. Bertempat di pertigaan jalan Regentstraat sebelah barat daya alun-alun Malang didirkan sebuah bangunan bergaya arsitektural landhuizen campuran Joglo gaya Jawa dan Empire Eropa. Hotel tersebut diberinama sesuai nama pemiliknya yaitu Hotel Lapidoth. Akomodasi yang disediakan sekitar 50 kamar dengan kondisi bangunan seperti rumah besar dengan jalanan yang masih berupa tanah keras. Kamar mandi dan fasilitas lainnya disediakan dengan sederhana. Ditumbuhi banyak tanaman keras dan pepohonan membuat situasi hotel ini terasa rindang dan segar. Bisa jadi Abraham Chr. Lapidoth ini adalah pengusaha perhotelan pertama dan terkenal di Malang, sesuai yang ditulis A. Van Schaik dalam Malang Beeld van een stad terbitan Asia Maior pada 1996.
Hingga pada tahun 1870 hotel ini berubah nama menjadi hotel Malang. Perubahan ini sebatas pada perubahan kepemilikan saja sedangkan untuk bentuk bangunan masih seperti bentuk sebelumnya. Pada saat itu di Malang mulai dibuka sarana trasportasi darat yang modern yaitu dibangunnya rel kereta yang menghubungkan Malang dan Pasuran. Perusahaan kereta api SS Staatsspoorwegen ini mulai membangun jalur dan beberapa Stasiun sepanjang jalur tersebut. Sehingga pada 1879 diresmikan pembukaan lintas Surabaya – Pasuruan – Malang. Jalur sepanjang 112 km itu diresmikan pada tanggal 20 Juli 1879 oleh Gubernur Jenderal Mr. J. W. van Lansberge melalui upacara yang meriah. Bersamaan peresmian tersebut dilaksanakan pula pembukaan Stasiun Malang yang berada di daerah barat lapangan Rampal. Sejak saat itu mobilitas penduduk Pasuruan dan Surabaya ke Malang semakin tinggi. Kondisi Malang yang berudara dingin dan sejuk membuat pelancong dan pebisnis bersedia berlama-lama tinggal di Malang dan pilihannya menginap di Hotel Malang.
Pada tahun 1900 nama hotel Malang berubah menjadi Hotel Jansen karena diakuisisi oleh pemilik Hotel Berg yang berekspansi ke sebelah selatan alun-alun. Perubahan kepemilikan ini menjadikan hotel ini memiliki jaringan hotel dengan 2 hotel bernama Jansen yaitu yang berada di jalan Regentsraat dan yang kedua di jalan Medan Merdeka Selatan (kini).
Selanjutnya pada tahun 1915 Hotel Jansen ex Hotel Malang seiring dengan kemajuan kota maka dilakukan renovasi secara total. Perubahan arsitekturalnya dikerjakan oleh Biro Arsitek AIA (Algemeen Ingenieur Architecten) Belanda. Tujuan perubahan ini untuk membuat konsep hotel yang lebih modern. Sehingga dibangunlah bangunan hotel dengan konsep art deco dan diresmikan nama baru yaitu Hotel Palace dengan jumlah kamar yang lebih banyak dari 50 kamar menjadi 126 kamar. Perubahan jumlah kamar ini seiring dengan perubahan fasad hotel dan penambahan bangunan sayap barat dan timur yang berlantai dua. Ada yang menarik dari Ballroom Hotel Palace yang baru yaitu terdapatnya keramik dinding bergambarkan pemandangan pedesaan dan daerah-daerah di Belanda. Jumlah keramik dinding yang dapat dinikmati hingga kini adalah sebanyak 22 buah. Lukisan keramik dinding berjudul Bu Duivendrecth, menggambarkan sapi – sapi di padang rumput. sedangkan Lukisan keramik dinding berjudul De Hoofdtoren te Hoorn menampillkan bangunan menara utama di antara rumah – rumah. Keberadaan ragam hias pada lantai ubin juga menarik serta adanya Balkon di sisi selatan Ballroom menunjukan bahwa pernah ada kegiatan dansa dan pesta di Hotel Palace. Disamping itu langit-langit hotel berhiaskan ukiran logam berbahan tembaga atau aluminium tahan karat, menambah kesan mewah Ballroom Hotel Palace.
Kondisi ekonomi dan sosial di kota Malang pasca perubahan Karesidenan Pasuruan menjadi Karesidenan Malang pada 1 Juli 1928 semakin meneguhkan keadaan kota menjadi daerah yang layak diperhitungkan. Sehingga secara fisik terjadi perubahan wajah kota termasuk terbangunnya Balaikota Malang pada tahun 1929 dan makin masifnya pelaksanaan Bouwplan 1- 8 sebagai kebijakan Gemeente Kotapraja Malang. Sentral penataan pusat perbelanjaan dimulai dari berubahnya Kayutangan dari kawasan hunian menjadi kawasan perdagangan yang elite pada masanya. “Perekonomian kota Malang pada masa kolonial periode 1920-1932 adalah buah manis dari berkembangnya sektor komoditi Kopi dan Tebu yang ditanam di Afdeling Malang ,” ujar Agung Buana Perencana Ekonomi Bappeda Kota Malang sekaligus pengamat cagar budaya.
Hingga akhinya pada saat Jepang menduduki Kota Malang pada tanggal 8 Maret 1942 maka Hotel Palace berubah nama menjadi Hotel Assoma. Kondisi Kota Malang pada masa pendudukan Jepang, banyak terjadinya perubahan fungsi bangunan. Seperti contoh adalah gedung sekolah katolik di jalan Semeru menjadi kantor pusat Markas Kempetai Jepang dan Kantor Propaganda Jepang. Sedangkan Gereja GPIB Imanuel sebelah utara Masjid Jami Alun-laun berubah fungsi menjadi Gudang Beras tentara Jepang serta banyak lagi bangunan yang berubah fungsi. Nama Hotel Assoma bertahan hingga lepasnya pendudukan Jepang di Malang yaitu pada 8 Oktober 1945 yang selanjutnya kembali menjadi Hotel Palace. Sehingga nama hotel Palace dipergunakan kembali untuk kedua kalinya.
Pada periode 1945 – 1947 Hotel Palace juga dikenal dengan nama Hotel Republik. Hal ini dikarenakan para pejuang dan tentara TRI menggunakan hotel ini sebagai titik bertemu dan menyusun siasat perang. Hingga menjelang peristiwa Agresi Militer I yaitu masuknya tentara NICA ke Malang, hotel ini masih berdiri dengan megahnya. Pada tanggal 22 Juli hingga 31 Juli tahun 1947 terjadi aksi pembakaran atas kurang lebih 1.000 gedung dan bangunan di Kota Malang. Sasaran pembakaran adalag gedung pemerintahan (Balaikota), gedung sekolah (Cor Jesu), rumah-rumah dan pertokoan di Kayutangan. Salah satu bangunan yang dibakar oleh Gerilyawan Rakyat Kota adalah bangunan Hotel Palace. Pembakaran ini mengakibatkan hancurnya menara kembar di bangunan utama Hotel Palace. Sedangkan bangunan sayap Barat dan sayap Timur Hotel Palace relatif masih dapat dipergunakan. Membaranya Kota Malang menunjukan bahwa terjadi perlawanan atas masuknya pasukan NICA dari utara kota Malang. Rakyat tidak rela bangunan dan gedung-gedung akan dipergunakan oleh tentara Belanda, sehingga pembakaran gedung adalah upaya menghambat dan melumpuhkan kota Malang. Peristiwa tersebut dikenang dengan nama peristiwa “Malang Bumi Hangus”.
Walaupun dalam keadaan rusak berat dan nyaris tidak berfungsi, nama hotel Palace ini sangat dikenal oleh masyarakat Malang. Hingga pada tahun 1953 seorang pengusaha sekaligus kontraktor dari Kalimantan bernama H. Sjachran Hoesin (1920-1999) membeli hotel ini. Ada cerita menarik bahwa pada proses penjualan hotel ini, H. Sjachran membawa uang tunai dalam beberapa koper yang dibawa langsung dari Banjarmasin. Selanjutnya H. Sjachran mengganti namanya menjadi Hotel Pelangi tahun 1964 melalui privatisasi bisnis N.V Sjachran Hoesin yang berkedudukan di Banjarmasin. Beberapa renovasi bangunan dilakukan, salah satunya adalah menghilangkan menara kembar yang berada di bangunan utama. Sehingga fasad bangunan mengalami perubahan. Nama Hotel Pelangi dipergunakan hingga sekarang. Sedangkan pengelolaan hotel diserahkan kepada keluarga besar Sjachran Hoesin.
Pada akhirnya Pemerintah Kota Malang melalui SK Walikota Malang menetapkan Hotel Pelangi sebagai bangunan cagar budaya dengan nomer penetapan 188.45//35.73.112/2018 tanggal 31 Desember 2018 sesuai Peraturan Daerah nomer 1 tahun 2018 dan Undang-undang nomer 11 tahun 2010 tentang cagar budaya. “Pemanfaatan dan Pelestarian Cagar Budaya yang telah ditetapkan oleh Kepala Daerah semestinya merujuk pada pelaksanaan UU Cagar Budaya dan Perda CB,” kata Agung yang juga Sekretaris Tim Ahli Cagar Budaya Kota Malang periode 2016-2021 pada akhir diskusi.
Disarikan dari berbagai sumber. (Hardjo)