ancientArt and Culture

Suputra, Konsepsi Sosio Kultura Jawa dalam Adat Pengasuhan Anak Dulu-Kini, Catatan M.Dwi Cahyono

A. Makna Sebutan”Suputra” dan Varian-varian Sebutan Lain

Sebutan “suputra” terbentuk dari dua kata, yaitu kata “su” yang berarti : baik, dan “putra” dalam arti : anak. Kata “putra” lebih mengarah pada jenis kelamin pria, adapun yang berjenis kelamin perempuan dinamai dengan “putri”. Dalam hal demikian, selain sebutan “suputra”, mustinya ada juga sebutan “suputri”. Pada bahasa Jawa Tengahan kedapatan sebutan itu. Kata “suputra” dalam arti :anak laki-laki yang unggul (Zoetmulder, 1995:1152) tercantum di dalam kitab Slokantara (52.3) dan Sutasoma (24.8). Kata jadian “kasuputran”, dalam arti : menjadi putra yang baik, kedapatan dalam kitab Kudung Harsawijaya (41.4). Untuk anak berjenis kelamin wanita terdapat sebutan “suputri atau suputrika”, yang berarti : putri yang unggul (Zoetmulder, 1995: 1152), seperti kedapatan dalam kitab kakawin Arjunawijaya (1.2 dan 47.6) serta Sumanasantaka (136.4).

Terkandung di dalam sebutan itu (“suputra/i”( suatu konsepsi berkenaan dengan “anak yang baik (bahasa Jawa Baru ‘lare sae, bocak apik, arek becik, dsb.’) ” atau terdapat juga sebutan “anak budiman (anak yang baik budi)”. Perihal anak “anak budiman”, lagu anak yang berjdul “Pergi Belajar” berlirik sebagai berikut :

 Oh, ibu dan ayah selamat pagi
 Ku pergi belajar sampaikan nanti

 Selamat belajar nak penuh semangat
 Rajinlah s'lalu tentu kau dapat
 Hormati gurumu, sayangi teman
 Itulah tandanya kau murid budiman

Pada lirik lagu ini, murid (baca juga dengan “anak”) dikategorikan Budiman apabila memiliki pertanda : penuh semangat, rajin, penghormat dan penyayang.
Sesuai dengan sebutannya, anak suputra menunjuk pada : anak yang berprilaku baik, cerdas, bijaksana, dan berbudi pekerti luhur. Anak yang demikian bisa mengangkat harkat dan martabat orang tua dan ke- luarganya, dapat menjadi kebanggaan keluarga dan masyarakat. Diyakini pula, anak suputra dapat selamatkan leluhur dari api neraka. Itulah “gambaran ideal” untuk apa yang dikategorikan sebagai ‘anak yang baik (suputra)”. Lawan katanya adalah “kuputra (anak yang tidak/kurang baik)”. Sebutan tersebut metupakan “istilah etik”, yang didalamnya memuat sikap dan perilaku yang dikategorikan “baik” atau sebaliknya “tidak baik”.

Anak yang baik adalah anak yang memipunyai sifat : (a) bertanggung jawab: terhadap tindakan dan kewajibannya; (b) berakhlak mulia yang ditandai oleh berbudi pekertinya yang luhur dan memiliki nilai kejujuran, kesederhanaan dan kasih sayang; (c) sopan santun; (d) peduli kepada orang lain dengan menghargai perbedaan; (e) berani mengungkapkan pendapat atau apa yang dipikirkan; (f) tidak egois dengannerperilaku suka berbagi, (g) meminta maaf jika berbuat salah; serta (h) berterima kasih pada orang yang membantunya. Pola asuh yang diterapkan kepada anak sangat memengaruhi sosok anak dikemudian hari.

B. Adat Pengasuhan Anak dalam Konteks EkoSosio- Kultura

Pengasuhan anak (child rearing) yang adalah salah satu aktivitas sosial dalam mengasuh anak terbuka kemungkinan berbeda-beda di masing-masing ling- kungan fisis-alamiah, kelompok sosial maupun latar budaya setempat. Dalam lingkungan sosial-budaya etnik terdapat tata cara ataupun pola pengasuhan anak yang selaras dengan konteks ekososio-kultura daya, yang telah diterapkan lintas generasi bahkan lintas masa. Tata cara pengasuhan yang telah men- tradisi itu membentuk apa yang diistilahi sebagai ‘adat pengasuhan anak (cusumary child parenting)’. Adapun istilah “pengasuhan (parenting) itu sendiri menunjuk kepada : proses, cara, atau perbuatan mengasuh (KBBI. 2002), yang berkata dasar “asuh” dalam arti : (1) menjaga (merawat dan mendidik) anak kecil: (2) membimbing (membantu, melatih, dan sebagainya) supaya dapat berdiri sendiri, (3) memimpin (mengepalai, menyelenggarakan) suatu badan kelembagaan:.

Pengasuhan anak merupakan proses interaksi an- tara orang tua dan anak untuk membimbing dan memelihara perkembangan anak dari bayi hingga dewasa. Pengasuhan terhadap anak tidak selalu dilakukan oleh orang tua kandung, namun bisa juga oleh pihak-pihdl lain yang di- beri kepercayaan dan tanggung jawab sebagai pengasuh. Aktifitas penga- suhan anak antara lain : (a) memberiksn dukungan fisik, intelektual, emosional dan sosial; (b) mengajarkan nilai, norma serta perilaku sosial; (c) melindungi anak dari tindakan yang merugikan. Hasil dari proses pengasuhan dan obyek yang diasuh dinamai “asuhan”, adapun pihak yang bertindak mengasuh dinamai debgan “pengaruh”. Orang tua acap bertindak sebagai pengasuh, sehingga terdapat sebutan “orang tua asuh”. Namun demikian, mengasuh anak tidak selalu dilakukan oleh orang tua (ayah dan atau ibu), tapi bisa juga oleh kakak dan anggota kerabat lain, malah ada yang dipercayakan pada seseorang atau lembaga jasa yang dipercaya dan diberi tang- gung jawab untuk mengasuh anaknya.

Tata kehidupan sosial dan budaya, termasuk juga agama dan filsafat, memberi konsepsi mengenai pengasuhan anak, lantaran pengasuhan anak dipan- dang sebagai ikhtiar penting untuk pembentukan “pribadian (personaliy)” manusia. Sebagai sebuah ikhtiar yang mendasar, pengasuhan terhadap anak yang dilakukan sedari usia dini. Dimaksudkan untuk membentuk apa yang dinamai dengan “basic personality (kepribadian dasar)”. Ada sebuah peringatan (warning) keras untuk tidak asal-asalan atau serampangan mengasuh anak, jangan sembarangan mengasuhkan anak kepada orang. Atau pihak yang belum ditelisik latar belakang sosial dirinya serta kemampuannya dalam mengasuh anak.

Kalaupun tak mengasuh sendiri anaknya dan meng- amanahkan pengasuhan anaknya pada orang atau pihak lain. Hal yang perlu dicamkan adalah jangan terlalu sering mengalihasuhkan anak, karena alih asuh berarti : mengubah tata cara dan pola asuh, yang bila terlalu sering dilakukan, anak berpotensi mengalami kebingungan (disorientasi). Apabila salah dalam memilih dan menentukan pengasuh, maka alih asuh dapat menyebabkan salah asuh. Masih ingatkan anda pada novel era Balai Pustaka Salah Asuhan adalah sebuah novel Indonesia karya Abdoel Moeis, yang terbit tahun 1928. Di masa pemerintahan Hindia Belanda, yang berkasih tentang Hanafi. Yakni seorang pemuda pribumi yang dibesarkan dalam budaya Barat, sehingga ia tercerabut dari akar sisi kulturalnya sendiri.

C. Anak Suputra, Produk Adat Pengasuhan yang Baik

Anak Suputra (anak yang baik) adalah produk dari pemgusuhan anak yang baik pula. Bagi anak yang diasuh, siapapun pengasuh dirinya, Beliau adalah “guru”-nya untuk mendapatkan kematangan (maturasi), bukan hanya maturasi fisik namun sekaligus maturasi sosial-budaya. Kepada para gurunya itu anak belajar mengenal berbagai hal. Oleh karena itu, ajaran guru kepada anak adalah hal yang sangat penting dalam proses pembentukan kepribadian seorang anak. Terlebih lagi, ketika usia anak-anak belum ada sikap kritis dari anak yang bersangkutan untuk memfilter ajaran dari para gurunya, menjadi cenderung menelan apa adanya ajaran guru. Oleh karena itu guru yang baik adalah “faktor kunci” untuk pembentukan sosok anak yang baik (suputra).

Dalam tradisi Nusantara, misal pada ajaran Hindu, mendidik anak suputra berarti men-didik anak agar memiliki moral dan etika yang baik, bertanggung jawab, dan berbakti. Untuk keperluan itu, peran guru adalah “pilar” dalam proses pembentukan “karakter anak suputra”.

Ada beragam jenis guru, yang terdiri atas empat macam guru (diistilahi dengan “catur guru”), yaitu. (1) Guru Swadyaya, yaitu Tuhan seba- bagai sumber segala ilmu pengetahuan melalui ajaran agama; (2) Guru Wisesa, yaitu Pemerintah sebagai pemimpin yang dalam pendidikan bangsa bertanngvung jawab untuk lmencerdaskan kehidupan bangsa; (3) Guru Pengajian, yaitu guru di lembaga pendidikan (sekolah) yang mengemban tugas untuk mendidik dan mencerdaskan anak, serta (4) Guru Rupaka, yaitu orang tua yang melahirkan dan membimbing anak sedari lahir di lingkungan keluarga. Terhadap para gurunya, anak musti berbakti terhadap guru, yang diistilahi dengan “guru bhakti”, termasuk bhakti terhadap ajaran guru. Agar dapat tumbuh menjadi pribadi yang seimbang dan ber- karakter, mandiri, bertanggung jawab dan berakhlak mulia.

Dalam proses pembentukan sosok yang me-miliki budi pekerti luhur, cerdas, dan bijak itu, pembentuk- an karakter anak telah dimulai semenjak usia dini. Bahkan, bukan baru dimulai setelah kelahiran anak namun sedari masih berada di dalam kandungan (guwogarbo). Masa kehamilan me- rupakan masa beryoga bagi kedua orangtua. Setelah pendidikan dalam kandungan, maka ada pendidikan setelah bayi lahir (pascanatal) yang berlangsung di dalam lingkungan keluarga.

Pada fase terawal, yaitu ke- tika anak masih berada dalam lingkungan keluarga, peran ayah-ibu dan anggota keluarga batih (nuclear family). Adalah pemegang peran pendidikan anak yang pertama dan utama. Bisa saja terjadi di dalam pendidikan anak di lingkungan keluarga batih terda- pat orang dari luar keluarga batih yang ikut menjadi “guru (pendidik)” bagi anak. Yaitu pembantu rumah tangga (dapat juga berupa “baby suster“). Oleh karena itulah memilih perlu seksama dalam mencari dan memilih pembantu yang dapat berperan sebagai “guru” bagi pendidikan anak. Khususnya pada keluarga muda dengan “orang tua sibuk”, misalnya ayah ibu bekerja dari pagi hingga sore bahkan menjelang malam hari.

Proses pendidikan anak melalui dilakukan secara bertahap-berkelanjutan sesuai fase-fase usia kematangan anak. Ada seperangkat nilai yang diintroyek- sikan pada anak, yang dalam kitab “Bhagavadgita” dijadijan pedoman dalam mendidik anak, yaitu “empat nilai luhur (catur dharmma)”, terdiri atas : (a) nilai abbhyasa, (b) nilai tyaga, (c) nilai santosa dan (d) nilai sthi-taprajna. Tokoh Abhyasa adalah sosok petapa, yang mengasingkan diri jauh di gunung untuk membebaskan dirinya dari keramaian duniawi. Dalam Wiracaruta “Mahābhāratta”, tokoh Abhiyasa diksahkan sebagai nenek moyang Pandhawa, yang memiliki watak baik hati dan senang menolong. Para Pandhawa bukan hanya belajar pada Guru Dorna, namun juga belajar dan meneladani nilai-nilai luhur Abhiyasa. Sikap rendah hati para Pandhawa meneladani nilai luhur yang diajarkan oleh Abhiyasa, yakni mengutamakan budi pekerti luhur. Selain perlu berpendidikan cukup (berilmu), anakmustilsh pula berbudi pekerti luhur. Nilai Abhiyasa memainkan pada pelatihan diri dengan membiasakan diri terhadap hal-hal yang baik.

Semua perilaku yang baik harus dipraktikkan oleh orang tua dalam kehidupan sehari-hari. Dalam hal demikian, orang tua harus mampu menjadi teladan baik bagi anak-anaknya. Jika itu selaku orang tua tak mampu mewujudkan semua itu, maka bisa gagal menjadikan anak suputra dan sebaliknya yang didapat adalah “anak kuputra”, yakni kebalikan dari suputra. Berkait itu, kitab susastra Nitisastra (3.15) menyebutkan “seluruh hutan terbakar hangus hanya lantaran ada satu pohon kering yang terbakar. Begitulah seorang anak yang kuputra yang bolrh jadi menghancurkan atau memberikan aib bagi seluruh keluarga.” Serupa dengan pepatah Melayu “akibat nila setitik. rusak susu sebelanga”.

Adapun “tyaga (त्याग)” adalah istilah dalam bahasa Sanskreta, yang secara harafiah berarti : pengorbanan, menyerahkan kemurahan hati, meninggalkan, menyerahkan segala sesuatu yang berharga, serta “penolakan” tergantung pada konteks-nya . Tyaga merupakan praktik memisahkan identitas diri sejati- nya dengan identitas diri sebagai tubuh. Yang dilakukan setelah sukses melakukan sesuatu bukan atas dorongan keinginannya sendiri — melainkan semata-mata karena dorongan semesta, maka seseorang bisa mempraktikkan tyaga. Sikap tyaga mengandung arti : tulus dan ikhlas yakni ikhlas tanpa beban ketika menghadapi sesuatu.

Praktik tyaga adalah praktik yang seirama dengan vairagya, yaitu praktik mengenal mana yang nyata dan mana yang palsu. Ketika orang sudah mengenal yang nyata, maka seluruh hasil tindakannya tidak lagi mengikatnya. Ketika para bijak itu bicara tentang pelepasan atas buah dari seluruh tindakannya, itulah yang di-sebuti dengan “tyaga”. Antara samyasa dan tyaga sama-sama berarti : pelepasan, atau pembebasan. Praktik samyasa merupakan pembebasan diri dari tindakan yang didorong oleh keinginan, adapun tyaga membebaskan diri dari buah semua tindakan. Sikap abhyasa dan tyaga itu keduanya dapat dibandingkan seperti “maarkata nyaya”, yaitu : sikap anak kera, dan dengan ”marjara nyaya”, sikap anak kucing. Yang pertama digambarkan sebagai berpegang erat-erat (seperti anak kera memegang erat-erat induknya saat dibawa kemana saja dan menjalankan ajaran agama dengan sebaik- baiknya (bhakti). Sedangkan yang kedua ada-lah seperti kepasrahan seekor anak kucing yang dicengkeram oleh mulut induknya saat berpindah-pindah. Seperti itu pula hendaknya kita pasrah dan menyerahkan diri pada Tuhan.

Adapun dharma ke-3 adalah “Santosa”, yaitu : upaya untuk mencapai kedamaian lahir batin dengan cara membedakan baik dan buruk. Terkandung arti pada dalam senutan “Santosa” itu adalah puas menerima keadaan (santhusta), dengan mensyukuri karuniaNya. Dalam sikap santosa orang tidak perlu terlalu menyesali diri, namun harus tetap optimis dalam menjalankan tugas kewajibannya. Terkait itu, kutab Weda menyatakan : “tak ada kegagalan bagi orang yang tekun berusaha”. Hendaknya santosa dijadikan sebagai landasan hidup dalam setiap langkah yang diambil dan dipedomani dalam berperilaku dan berinteraksi. Dalam bahasa Jawa Baru, kata “sentoso” berarti : teguh, kuat atau kokoh lantaran penuh syukur dan damai batinnya. Terkait dengan kerukunan, ada peribahasa Jawa “rukun agawe santoso”.

Dharmma ke-4 adalah “sthitaprajnya”, yakni : teguh dalam menghadapi tantangan, gelombang suka dan duka dalam berbagai cobaan hidup. Sthitaprajna adalah suatu gambaran mengenai keadaan batin yang penuh ketenangan, yang diperolehnya dengan tetap berpegang teguh pada dharmma. Orang dinyatakan berada dalam “sthitaprajna” bila dirinya telah menetap dalam kesadaran dan pengha-yatan ātma. Dharma sthitaprajna adalah salah satu nilai pendidikan agama Hindu yang terkandung dalam kitab Bhagavad Gita: Nilai ini diposisikan sebagai pengawal dari dharma wacana, yang memuat amanat : “Dengan cara apapun seseorang mendekatiKu, Aku meneri-manya; oleh karena sesungguhnya tiap jalan yang ditempuh manusia adalah jalanKu, adalah jalan menujuKu”

D. Konsepsi “Anak Suputra” dalam Ajaran “Tat Twam Asi”

Ajaran “tat twam asi” adalah nilai yang sangat luhur, yang dapat digunakan sebagai pedoman di dalam membangun sebuah kehidupan yang rukun dan damai. Secara harafiah “Tat Twam Asi” berarti ‘itu adalah engkau, engkau adalah dia’. Sebutan ‘itu’ bermakna sebagai Brahman atau Sumber segala kehidupan. Adapun kata ‘engkau’ adalah merupakan Atman atau jiwa yang menghidupi kesemua makhluk. Dengan demikian, Tat Twam Asi” bermakna : jiwa yang bersemayam dalam setiap manusia berasal dari sumber yang sama, yaitu Brahman atau Tuhan sendiri.

Ajaran Tat Twan Asi merupakan dasar Tata Susila Hindu dalam ikhtiar mencapai perbaik-an moral. Susila merupakan tingkah laku yang baik dan mulia untuk membina hubungan yang selaras dan seimbang serta rukun diantara sesama. Ajaran Tat Twan Asi diimplementasikan dengan dengan beberapa cara. (1) Melakukan perbuatan yang sesuai dengan ajaran agama maupun norma yang berlaku dalam masyarakat yang timbul dari hati kita sendiri (bukan paksaan). (2) Bertanggung jawab atas segala tindakan yang dilakukan, serta (3) lebih mendahulukan kepentingkan bersama daripada untuk kepentingan pribadi.

Implementasi Tat Twam Asi dapat menumbuhkan toleransi antar sesama. Sehingga terbentuk kehidupan yang rukun dan damai, penuh tenggang rasa, dan tidak menyakiti perasaan orang lain. Nilai luhur Tat Twam Asi di dalam falsafah hidup orang Jawa diwujudkan melalui sikap “tepa slira”, yang artinya : harus mampu merasakan apa yang orang lain rasakan. Tidak boleh menyakiti orang lain bila kita juga tidak ingin merasakan sakit yang sama. Gambaran tentang kondisi ideal, dimana tercipta keselarasan dan keharmonisan dalam berkehidupan sosial-budaya.

Konsepsi “anak suputra”, yang juga menekankan kelada aspek kesusilaan selaras dengan ajaran “Tat Twam Asi”. Boleh dikatakan bahwa preses pendidikan anak suputra yang dimulai sedari usia dini. Melandasi terciptanya tatanan hidup yang sesuai dengan ajaran “Tat Twam Asi”. Nilai yang terkandung di dalam konsepsi “anak suputra/i” maupun “tatwam asi” adalah nilai-nilai universal, yang tidak hanya terdapat di dalam ajaran agama Hindu, namun kedapatan pula dalam agama-agama lain. Oleh karena itu, konsepsi “anak suputra” terbuka kemungkinan untuk diimplementasikan pada keluarga yang tidak menganut agama Hindu. Nuwun..

SangkalIng, Griyajar CITRALEKHA, 25,-11-2024

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WeCreativez WhatsApp Support
Our customer support team is here to answer your questions. Ask us anything!
👋 Hi, how can I help?