Menelisik Kampung Wisata Warna-warni, bersama mahasiswa Sosiologi FISIP UB
Bagi wisatawan asing yang berlibur ke Malang Raya, kunjungan ke kampung warna-warni adalah salah satu destinasi wajibnya. Mengapa kampung wisata Jodipan (KWJ) wilayah kecamatan Blimbing Malang ini begitu terkenal. Salah satu yang menjadi daya tariknya adalah warna-warninya rumah dan pemukiman di pinggir sungai Brantas ini. Menurut Soni Parin Ketua RW 02 Kelurahan Jodipan bahwa kunjungan wisatawan asing saat ini mencapai 70% dari total kunjungan wisatawan. Mereka rata-rata berasal dari Belanda, Inggris, Belgia, Perancis dan Spanyol. Untuk wisatawan Asia yang berkesempatan ke kampung warna-warni ini kebanyakan berasal dari Singapura, Malaysia, Jepang dan China juga warga Korea. Masyarakat Jodipan pun tak canggung menghadapi wisatawan asing, meski bahasa asing mereka terbatas. Menariknya lagi masyarakat kampung wisata tidak terpengaruh terhadap tampilan/ busana hingga budaya asing yang singgah di kampungnya.

Tentu saja hal ini yang menarik untuk diteliti lebih lanjut. Bersama mahasiswa Sosiologi Fisip Universitas Brawijaya dalam mata kuliah Pariwisata dan Urbanisasi, kurang lebih 50an mahasiswa hadir di kampung warna-warni. Kuliah lapangan ini berlangsung sejak Senin pagi 7 Oktober 2024 yang dipimpin oleh dosen pengampu yaitu Wayan Suyadna. Selain itu kuliah ini juga menghadirkan narasumber dari kampung setempat yaitu Soni Parin dan Agus Kohar. Juga hadir Agung H. Buana dari Bappeda Kota Malang membawakan tema peran pemerintah Kota Malang untuk tata kelola kampung warna-warni.
Pada penjelasan Agus Kohar diketahui bahwa kampung warna-warni ini diinisiasi oleh mahasiswa jurusan komunikasi UMM yang pada tahun 2016 melakukan project kuliah. Kelompok mahasiswa itu menamakan dirinya Guyspro yang dikomandani oleh Nabila. Selanjutnya dengan dukungan warga, project revitalisasi pemukiman kumuh itu semakin berkembang dan didukung CSR dari PT. Indana produsen cat Decofresh. Prakarsa mahasiswa ini sebagai respon atas Surat Keputusan Walikota Malang nomor 188.45/86/35.73.112/2015 tanggal 18 Februari 2015 tentang penetapan Lingkunan Perumahan dan Pemukiman Kumuh. Sehingga kampung Jodipan masuk dalam kawasan kumuh. Mengkreasikan kondisi sekitar dan kontur bangunan tepi sungai ini, oleh Nabila dan kawan-kawan coba untuk diberikan warna pada bangunan yang terlihat kumuh.

Singkat kata perubahaan suasana yang telihat kumuh menjadi lebih bersih dan berwarna ini turut merubah kondisi sosial masyarakat. “Kampung ini terkenal sebagai kampung dengan tingkat penggangguran dan kriminalitas yang tinggi,” ujar Agung Buana, salah seorang narasumber. “Namun sejak kampung ini berwarna-warni, perubahan sikap mental masyarakat terjadi lebih baik,” ujarnya. Masyarkat menjadi lebih sadar pentingnya sanitasi, kebersihan dan kenyamanan pemukiman. Perubahan ini membuat Menteri PUPR Basuki Hadimulyono melakukan sidak dengan tampil apa adanya melihat suasana kampung. Tidak hanya itu, beliau menyempatkan diri bermain gitar dengan warga. Blusukan ala menteri Basuki ini pada tahun 2016 memberikan prespektif lain dalam penanganan kawasan kumuh di perkotaan. Sehingga bersama walikota Malang saat itu Anton, menteri Basuki menapresiasi model pemberdayaan kampung seperti kampung Jodipan yang sebelumnya kumuh.
Sementara itu ketu RW 02 Jodipan yang juga pengelola kampung wisata ini menyampaikan bahwa hasil dari ganti souvenir/tiketing ala kampung wisata memberikan kontribusi yang signifikan. “Bila sebelumnya ganti souvenir ini senilai Rp. 2.000,- lalu Rp. 3.000,- dan sekarang Rp. 5000,- bagi wisatawan nusantara, masyarakat mendapatkan manfaat,” ujarnya bersemangat. Masyarakat di RT 06, 07 dan 09 di RW 02 mendapatkan beberapa manfaat atas keberadaan kampung wisata. Yaitu berupa pembagian sembako di tiap KK setiap tahun, pembebasan uang kebersihan, iuran PKK, tunjangan biaya kematian warga hingga bedah rumah. Pembagian manfaat ini biasanya dilakukan setiap HUT kampung warna-warni yaitu setiap 9 September. Selain itu pengecatan kampung warna-warni sejak 2020 dilakukan secara mandiri dengan biaya sekitar 60-70 juta per tahun.
Kampung wisata warna-warni beroperasional setiap hari mulai jam 07.00-17.00 wib. Dikelola bersama antara pengurus RW dan Pokdarwis KWJ. Saat ini kunjungan wisata per hari rata-rata mencapai 200-300 orang dengan komposisi 70% adalah wisatawan asing. Tiket pengganti souvenir bagi wisman sebesar Rp. 10.000,- per orang. Sistem ini berlaku dengan model pengambilan karcis oleh petugas loket setiap pagi hari dan disetorkan pada siang hari.

Atraksi menarik lainnya adalah keberadaan jembatan kaca yang diresmikan pengoperasiannya pada 9 Oktober 2017 oleh Walikota Malang. Jembatan ini menghubungkan antara kampung wisata Warna-warni Jodipan dengan kampung wisata Tridi Kesatrian. Wisatawan dapat melewati dan menikmati sungai Brantas dari jembatan kaca ini.
Tantangan pengelola kampung wisata saat ini adalah masih adanya sampah yang hanyut sampai di depan kampung Jodipan. Padahal semestinya ada pengaturan di daerah hulu hingga hilir untuk tidak membuang sampah sembarangan. Serta pembenahan fasilitas dan sarana penunjang kampung wisata. Selain itu pengelolaan IT bagi promosi kampung juga menjadi tantangan tersendiri mengingat kamu muda kampung banyak yang keluar kota. Padahal di media internasional, kampung ini menjadi destinasi wajib ke Malang setelah melihat liputan media. Seperti juga tayangan game show dari TV Perancis.
Sungguh menjadi bahasan yang menarik dalam sudut sosiologi mengingat kompleknya pengelolaan kampung di daerah urban seperti kota Malang. Diharapkan dari kuliah lapangan ini mahasiswa dapat mengenal lebih lanjut mengenai problema di masyarakat khususnya kampung wisata. (aden)