Hari ini tepat 75 tahun, Chairil Anwar sang pujangga berpulang.

Bagi masyarakat kota Malang dan tentunya Malang Raya, nama Chairil Anwar sang pujangga tak terpisahkan dari ingatan kolektifnya. Bermula dari sebuah patung di alun-alun contong depan gereja Bunda Hati Kudus Kayutangan nampak patungnya berdiri kokoh. Chairil Anwar memang bukan arek Malang, namun semangatnya mempertahankan harga diri bangsa tak pernah lekang oleh jaman. Bukan sembarangan bila pemuda Malang bernama Hudan Dardiri menginisiasi berdirinya patung Chairil Anwar di kayutangan.

Chairil Anwar sendiri merupakan punjangga Sastra kebanggaan Indonesia yang hadir di Malang bersamaan dengan dilaksanakannya kongres KNIP tahun 1947. Sebagai sastrawan dia ingin menyaksikan sendiri perjalanan sejarah bangsa yang dimulai dari gedung Societet Concordia Malang (sekarang gedung Sarinah). Ketidakpuasan atas perkembangan rapat-rapat di kongres tersebut, konon membuat Chairil Anwar merasa kesal. Sehingga dia melepaskan pakaiannya dan seolah berteriak-teriak sambil membacakan puisi sebagai bentuk protesnya.

Kini patung Chairil Anwar yang tegak membisu sejak 25 Maret 1955 di depan Gereja Kayutangan tersebut sekarang terlihat di”kurung” tembok pembatas. Seolah-olah “Dia”tak lagi sebagai bagian dari perkembangan kota. Namun sebagai barang kuno yang harus dilingkupi dengan pembatas sehingga tak nampak kehadirannya di alun-alun contong Kota Malang ini.

Semangat pergerakan dan jiwa kepahlawanannya tak nampak lagi dari kawasan Kayutangan yang hingar bingar dengan berbagai aktifitas. Suara musik dari kelompok seniman maupun bunyi knalpot kendaraan yang lalu lalang di depannya seolah tak hiraukan kehadirannya.

Kini tepat 75 tahun kematiannya, akankan menjadi lonceng kematian “kedua” nya. Tak banyak warga Malang mengetahui keberadaannya, apalagi wisatawan yang lalu lalang di depannya. Seolah telah ada sekat yang membatasi, ataukah sekedar suara tanpa bunyi dari semangat Chairil Anwar yangberupa patung ini. (djaja)