Art and Culturehistory

Kisah nyata, ternyata ada Pelajar Pejuang TRIP yang gugur ditangan Sinyo Belanda, sahabat kecilnya dulu.

Saat hadir sebagai Narasumber Sarasehan Perjuangan Pejuang Pelajar TRIP di Aula Museum Brawijaya pada Sabtu 29 Juli 2023 lalu. Dukut Imam Widodo sempat bercerita sebuah kisah nyata. Cerita ini sedikit banyak mempengaruhi dirinya. Apalagi sebagai penulis buku Malang Tempoe Doeloe, beliau banyak menuliskan bagaimana kiprah Pelajar Pejuang TRIP. Terlebih lagi pelajar pejuang membela kemerdekaan Indonesia masih berusia belia, sekitar 14-19 tahun.

Kisah ini juga melatarbelakangi dirinya untuk terus menulis tentang kisah-kisah Perjuangan Tentara Republik Indonesia Pelajar. Terlebih lagi mulai ayahnya hingga pamannya merupakan anggota TRIP Malang.

Pelajar Pejuang TRIP yang tampak muda penuh ceria

Kisah nyata ini di terjadi di Malang pada pagi hari tanggal 31 Juli 1984, saat Dukut Imam Widodo berziarah ke Makam Pahlawan TRIP Malang. Sengaja berziarah untuk mendoakan dan mengenang mereka yang telah gugur dalam pertempuran heroik kala itu. Anak-anak muda yang gugur dan dimakamkan dalam satu liang lahat pada 31 Juli 1947.

Kisah Jansen dan Pieter:
Dari arah Jalan Merbabu tampak 2 orang lelaki kulit putih berjalan menuju ke arah saya. Mereka bercelana pendek, dan usianya sekitar setengah abad. Dalam hati saya sudah berkata, bahwa mereka berdua adalah turis.

Tapi mengapa mereka berdua menuju ke Makam Pahlawan TRIP? Apa yang mau mereka lakukan?
Kedua orang lelaki kulit putih itu menyapa saya dengan anggukan. Lantas di depan nama-nama para anggota TRIP itu mereka berdiri mengamati. Nama-nama itu dibaca dan dielus satu persatu. Beberapa saat kemudian keduanya berdiri tegak. Lalu salah satunya memberi aba-aba dalam bahasa Belanda, serentak keduanya memberi hormat secara militer.

Saya tertegun. Namun saya diam saja dan tidak berniat untuk mengusik ke dua orang Belanda itu. Mereka masih mengamati nama-nama yang anggota TRIP yang terpahat disitu. Tidak hanya itu saja. Mereka pun memotret pusara, prasasti Presiden Soekarno, juga lokasi makam tersebut.

Tiba-tiba keduanya menghampiri saya yang masih duduk di pintu masuk makam.
Tidak tahan, saya langsung bertanya: “Meneer, wat doet U nu?” (“Tuan, apa yang sedang Anda lakukan?”)
Di luar dugaan mereka menjawab dalam bahasa Melayu yang patah-patah.
“Saya Jansen dan ini teman saya Pieter.”
Waar komt U vandaan?” (“Dari mana asal Anda?”)
Tanpa diminta Jansen menuturkan riwayat hidupnya:
“ Kami berdua dulu sama-sama lahir di Malang, tinggal di Rampal. Tumbuh besar jadi remaja di kota ini. Menjelang Bala Tentara Jepang masuk ke Malang tahun 1942, kami sekeluarga sudah mengungsi ke Negeri Belanda. Tahun 1946 kami berdua terkena wajib militer dan menjadi anggota Marine Brigade (Marbrig). Pada tahun 1947 tepatnya pada bulan Juli, pasukan Marbrig menyerbu Kota Malang, termasuk kami…”

“Usia Anda berapa ketika itu?”, tanya saya pada Jansen.
Jansen tersenyum penuh arti, lalu katanya:
“Hm, belum genap 20 tahun”
“Pangkat Anda waktu itu?”, tanya saya lagi.
“Saya diberi pangkat Sersan, sedangkan Pieter ketika itu sudah Letnan”

Dengan hati-hati saya mencoba untuk bertanya. Apakah mereka berdua terlibat dalam pertempuran di Jalan Salak ini yang terjadi 37 tahun yang lalu? Hampir bersamaan Pieter dan Jansen menghela nafas panjang. Keduanya tampak menahan perasaan. Bibir Jansen malah terkatub rapat, sementara pandangan Jansen menerawang. Bibir Jansen gemetar ketika ia bertutur tentang peristiwa itu.

Di sudut rumah itu, saya menemukan seorang serdadu TRIP dengan seragamnya hitam-hitam terkapar bermandikan darah. Usianya mungkin sekitar 17 tahun. Wajahnya sungguh tak asing bagi saya, karena dia adalah teman sepermainan saya ketika saya masih tinggal di Rampal. Dia sempat menyebut nama saya sambil tersenyum.

Dia bahkan mengatakan bahwa saya tampak gagah dan ganteng dengan seragam loreng. Dia juga mengingatkan saya, bahwa ketika kita masih kecil, saya masih punya hutang kelereng padanya. Dikatakannya bahwa dia pernah datang ke rumah saya untuk menagih kelereng itu, tapi ketika itu saya tidak ada di rumah.

Sesaat kemudian dia menyerengai kesakitan. Diraihnya kepala saya sambil berbisik, “Jansen tolonglah saya…” Tampak air mata Jansen menetes di pipinya yang mulai keriput. Dengan suara serak ia pun melanjutkan kisahnya:

“Pasti kau akan saya tolong, kau akan kubawa ke rumah sakit, kata Jansen. “Bukan itu !”, katanya. “Sekarang juga, akhirilah hidupku, aku sudah tidak tahan Jansen, sakit sekali”. “Tolong Jansen, tembak dadaku sekarang juga !”.
Tiba-tiba saja, ia meraih moncong senjataku dan diarahkan ke dadanya, dan bersamaan dengan itu, entah saya sengaja atau tidak. Pelatuk senjata itu pun saya tarik.

Terdengar letusan keras. Teman saya itu pun terkulai lemas. Yang mengherankan, ia meninggal dengan tersenyum. Manis sekali senyumannya kala itu…” Kembali mata Jansen menerawang jauh, sementara air matanya masih juga mengalir.

“Siapakah nama teman Anda itu, Meneer Jansen?”, tanya saya penasaran.
“Demi menjaga nama saya di mata anak cucu saya, siapa tahu suatu saat kelak mereka datang ke Malang,” maka saya tidak akan mengatakannya padamu, siapa nama sahabat saya tersebut. “Saya tidak ingin keturunan kami tahu, bahwa kakeknya adalah pembunuh para pahlawan yang dikuburkan di sini.” “Tadi hanya ingin meyakinkan, ternyata nama sahabat saya tersebut sudah terpahat di sana, bahkan tadi sempat mengelusnya.” ujarnya bermata sembab.

Angin semilir di musim kemarau ini menerpa dedaunan pohon mahoni yang ada di Jln. Salak. Daun-daun yang kering beterbangan di tiup angin. Tuan Jansen dan Tuan Pieter berpamitan. Saya yakin tidak akan bertemu mereka lagi. Namun sepenggal perjalanan hidup mereka pada tanggal 31 Juli 1947, sudah saya tulis di sini.
Kalau tmemang ada mukjijat, cucunya akan membaca tulisan ini. Walau entah kapan…

Demikianlah kisah pertemuan Jansen, Pieter dan Dukut yang menggetarkan perasaan. Segala macam bentuk rasa marah, haru dan iklas bercampur dalam satu rasa. Ternyata pertempuran Jalan Salak telah menjadi saksi sebuah persahabatan yang terbalut dalam posisi berseberangan antar bangsa dan kepentingan. (dikutip dari Buku Malang Tempo Doeloe karya Dukut Imam Widodo)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WeCreativez WhatsApp Support
Our customer support team is here to answer your questions. Ask us anything!
👋 Hi, how can I help?