Ekosistem Seni Rupa Malang Sebagai Ruang Belajar, catatan Kuratorial Elsa Izaty Permatasari
Membicarakan ekosistem seni rupa di Malang, memang tidak bisa dipisahkan dari institusi pendidikanyang berperan dalam penyediaan ruang belajar dan juga peran komunitas-komunitas seni yang ikut andil dalam perkembangan seni. Universitas Negeri Malang atau yang dulu bernama IKIP (Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan) menjadi pioneer di kota Malang dengan membuka jurusan seni dan desain pada tahun 1968, yang saat ini telah berkembang menjadi beberapa program seperti pendidikan seni rupa, pendidikan seni tari dan musik, serta desain komunikasi visual.
Pada tahun 2011 kemudian menyusul Universitas Brawijaya yang membuka jurusan seni rupa murni, menjadi bagian dari Departemen Seni dan Antropologi. Pada dasarnya, lembaga pendidikan berperan besar dalam menghasilkan seniman secara ideal yang dapat diukur dari segi kualitas dan kuantitas.
Pada tahun 1971-1980 kuatnya lembaga pendidikan seni rupa di IKIP menyebabkan ekosistem seni rupa di Malang banyak menghasilkan tokoh seniman akademis, tidak seperti sebelumnya yang banyak digiatkan oleh seniman otodidak yang tergabung dalam Sanggar Seni Mojopahit yang saat ini menjadi DKM (Dewan Kesenian Malang).
Pada praktik seni rupa di Malang saat ini, perkembangan kesenian tidak bisa hanya diukur dari keluaran universitas, tetapi juga tak luput dari seniman-seniman otodidak yang ikut berperan dalam perkembangan ekosistem seni menjadi lebih dinamis. Seniman-seniman akademisi lulusan perguruan tinggi umumnya juga mengembangkan diri dan belajar pada lingkungan di luar kampus, dengan mengikuti kolektif seni, residensi seni, ataupun kegiatan magang pada seniman otodidak, sehingga terjalin simbiosis yang
saling mendukung.
Lembaga pendidikan pun tetap memiliki peran menjadi pilihan pijakan yang berpengaruh pada awal karir mereka. Jika membandingkan Malang dewasa ini dengan Malang beberapa tahun terakhir memang ada perkembangan yang lebih baik. Saat ini, tampaknya banyak muncul ruang-ruang alternatif untuk berkesenian di Malang. Tidak harus mengikuti standar ideal sebuah galeri, pameran bisa digelar pada ruang-ruang alternatif baru, seperti cafe atupun menyulap rumah menjadi ruang pamer. Selain munculnya ruang-ruang alternatif baru, perkembangan kesenian pada anak muda dapat dilihat dari bermuncullannya kolektif seni.
Meskipun pada perkembangan kesenirupaan Malang kuat dengan citra realis yang melekat pada senimannya, nyatanya saat ini banyak anak muda yang berkarya baik secara independen maupun kolektif mulai memilih jalan kekaryaan pada street art, performance art, dan seni instalasi.
Perkembangan kesenian yang lebih baik memang belum dapat menjadikan Malang mendapat lampu sorot oleh pemerhati kesenian di Indonesia. Menjadi tabungan pekerjaan bagi kita semua mengapa Malang belum bisa menjadi salah satu poros pusat kesenian.
Di tahun 2018 sempat muncul sebuah gebrakan dengan perhelatan September Art Month (SAM) yang terdiri dari beberapa kegiatan paralel yang diselenggarakan secara serentak. Event yang digadang gadang menjadi perayaan tahunan nyatanya hanya bertahan dua kali saja. Setelah itu muncul perhelatan Mini Art Malang (MAM) yang digawangi oleh Studio Dinding Luar, dan menjadi agenda tahunan hingga tahun ini memasuki tahun yang ke 6.
Kota Malang idealnya tidak kekurangan akademisi seni dan perupa karena Universitas Negeri Malang dan Universitas Brawijaya menghasilkan keduanya. Tidak sedikit pula lulusan dari dua kampus tersebut
yang sukses berkarir di kesenian. Beberapa seniman Malang dan Batu pun ada yang telah berkarir secara internasional.
Jadi sebenarnya apa yang membuat kesenian di Malang cenderung itu-itu saja tanpa adanya bom kesenian yang membuat Malang mampu mendapat lampu sorot?.
Jika dilihat kebutuhan sumber daya yang lain, di Malang sangat langkah dijumpai anak muda yang berfokus pada tata kelola seni atupun kepenulisan seni. Dalam upaya mewujudkan harapan ekosistem seni rupa di Malang agar semakin dinamis dan berkembang, memang dibutuhkan banyak sumber daya yang dapat mendukung untuk mencapainya.
Berdasarkan pengamatan saya sejak tahun 2018, saya melihat perkembangan seni rupa di Malang dan Batu hampir serupa. Ekosistem kesenian lebih banyak diisi oleh seniman tanpa adanya sumber daya pendukung lainnya. Memang ekosistem seni tidak melulu harus dipaksa menjadi ideal, namun ketika beberapa poros tidak diisi justru akan menjadi timpang. Senimanlah yang terpaksa berkorban memiliki banyak peran dalam sebuah perhelatan pameran.
Berbicara mengenai sumber daya pendukung ekosistem seni di Malang, Tyaga Art Management lebih dulu menjadi kelompok yang aktif dalam pengelolaan even pameran, Lek Budi yang seorang penulis seni, dan Syarifuddin salah satu kurator independent dan pengkaji seni.
Harusnya saat ini sudah memunculkan nama-nama baru dalam beberapa bidang tersebut. Jika melihat konteks yang lebih luas, Biennale Jatim dalam beberapa tahun terakhir mulai memantik daerah-daerah lain di Jawa Timur untuk ikut berperan aktif dalam perhelatan seni. Dengan menggelar beberapa program seni partisipatif yang melibatkan masyarakat, juga membuka ruang-ruang belajar melalui program residensi seni dalam upaya membentuk ekosistem seni yang inklusif.
Memiliki harapan serupa, pameran Mata Rantai yang digelar ini diharapkan juga dapat memacu semangat generasi muda untuk lebih berkembang dalam berkarya dan berkarir di dunia seni rupa.
Pameran ini bekerja sama dengan lembaga pendidikan, universitas dan sekolah-sekolah dalam upaya pembelajaran seni kepada mahasiswa dan siswa sekolah. Pameran Mata Rantai juga memiliki beberapa program publik seperti bincang seni, lokakarya, dan kunjungan sekolah yang akan diisi oleh narasumber-narasumber profesional. Mereka yang sudah berkarir di dunia seni, seperti perupa, penulis seni, kurator, ataupun peneliti seni.
Dalam selebrasi Hari Pendidikan Nasional, program-program pameran Mata Rantai diharapkan menjadi langkah nyata untuk mentransfer ilmu pengetahuan. Dan pandangan baru bagi siswa dan khalayak umum dan memantik mereka untuk berperan dalam ekosistem seni yang progresif.