Allah Bekerja Dengan Sangat Rahasia, catatan Nashir Ngeblues
Ada diskusi di medsos tentang Tasawuf, memunculkan pertanyaan
“Mana yang lebih penting antara Thoriqah, Hakekat dan Syariat ?
Masing-masing menjawab dengan argumennya yang mbulet semua. Jika direnungkan pun, sebenarnya pendapat itu bisa juga dikatakan benar semua. Lalu salahnya dimana ? Salahnya terletak pada masing-masing pendapat harus paling bener dan paling dahulu diterima dan dijalankan.
Pertanyaan tersebut sebenarnya persis dengan pertanyaan tentang
“Lebih dulu mana, Telor sama Ayam ?” Jawabannya berbelit dan benar.
Tashawuf dalam konteks forum diakusi yang bukan pelaku. Akan selalu sibuk dengan benturan benar dan salah. Sementara semua itu adalah metode yang tak bisa disalahkan begitu saja. Karena memang manusia tak punya hak mutlak membukakan jalan bagi dirinya untuk bisa bertemu dengan Tuhannya.
Semua metode itu bisa terjadi pada siapa saja tanpa urutan mana yang lebih dahulu secara ideal dalam logika manusia.
Ke idealan mana yang harus lebih dulu di pelajari. Secara adab dan etika bisa saja benar sesuai urutan logikanya. Akan tetapi keyakinan bisa saja keluar dari keidealan logika tersebut.
Tidak perlu ribet dengan mana yang harus lebih di dahulukan, karena dalam realitasnya emua akan bergantung dan terserah Allah dalam membukakan pintu untuk menuju pada makrifatullah.
Kalau Allah mau memberi pelajaran pada seseorang lewat Hakikat dulu untuk terbangunnya kesadaran baru, setelah itu dia barengi dengan syariat, kita sebagai manusia bisa apa ? Begitu juga ketika Allah membuka pintu kesadaran dengan cara yang lain diluar keidealan pikiran manusia.
Memahami, merenungi lalu menjalani sebisanya dulu apapun itu metodenya akan lebih baik daripada sibuk membenturkan metode keidealan. Jauh lebih baik daripada saling bantah sesama yang tidak pernah merenungi dan menjalani, maka akan konyol untuk didengar dan diperhatikan uraiannya.
Dulu, konon Ibnu Taimiyah bersikukuh menolak Tasawuf dengan perspektif Syariatnya, begitu juga yang dilakukan oleh Ibnu Rusyd. Akan tetapi dalam perjalanan hidupnya, pada masa tuanya, kedua tokoh itupun menganulir sendiri pemikirannya.
Beberapa waktu yang lalu saya juga tidak sengaja membaca tulisan kisah tentang Buya Hamka yang diceritakan oleh Alm. Baharudin Lopa.
Buya Hamka dulunya juga bersikukuh, bahwa syariat adalah yang paling utama, tidak dengan yang lain, setelah mendapat undangan untuk bertemu Sayyid Imam Khoneini di Iran, Buya Hamka pun tersadar, lalu aktif Sholawatan, Tahlil dll. Hingga dalam perjanan pencariannya Buya Hamka akhirnya menulis beberapa buku tentang Tasawuf.
Allah membuka jalan kesadaran manusia bisa lewat apa saja dan darimana saja. Tak jarang solusi atas rumitnya masalahpun didapati dari hal paling remehbdan tak sengaja menjadi solusi atas kepelikan suatu masalah.
Begitulah cara kerja Allah. Dan Maulana Rumipun mengatakan bahwa “Allah bekerja dengan sangat rahasia”.
Menjalani proses didalamnya sangat berbeda dengan mendiskusikannya dari luar. Pelaku aktif tidak akan pernah terjebak pada teori keidealan yang tidak bisa mutlak hukum logikanya. Sementara mereka yang sibuk dengan pemikiran teori keidealan tak kunjung menemukan apapun dalam perjalanannya. Kecuali hanya bingung karena berada di persimpangan sehingga tak tahu harus memulai darimana dan berbuat apa.
Nashir Ngeblues