Antara Politik Kebudayaan, Keniscayaan dan Anomali Berpikir, catatan Nashir Ngeblues
Perubahan jaman sesungguhnya sudah banyak di prediksi sejak 2 abad yang lalu, Jangka Jayabaya dan Ronggowarsito juga membuat analisa akan terjadinya sebuah perubahan sosial pada masyarakat nusantara, akan tetapi yang terjadi bukan hanya perubahan sosial, tapi juga terjadi perubahan nilai-nilai.
Latar belakang perubahan sosial yang terjadi memang bisa dari berbagai elemen, akan tetapi elemen yang paling mendasar terjadinya sebuah perubahan pada manusia adalah tentang perspektif yang mendasari seseorang tersebut.
Masyarakat nusantara yang dahulu falsafah hidupnya adalah kesederhanaan kini berubah menjadi materialisme, masyarakat nusantara yang dahulu pikiran, ego dan semangat dalam hidupnya berkecenderungan spiritualis dan teologis, kini berubah menjadi sangat materialistik dan kapitalistik. Dari dasar berpikir yang materialistik dan kapitalistik inilah dalam jiwanya terbangun sifat sejarah dan ingin menguasai atau kolonialistik.
Dahulu masyarakat di nusantara tak pernah lupa untuk berterima-kasih pada Tuhan pada tiap-tiap moment tertentu seperti usai panen atau mendapatkan kelimpahan sebagai nelayan dengan selamatan sebagai simbol ungkapan terima-kasih. Berbagai bentuk simbol mereka ciptakan sebagai ungkapan rasa terima-kasihnya pada Tuhan YME.
Karena politik kebudayaan, kini ungkapan terima-kasih tersebut sudah dibaca dari perspektif materilaisme, sehingga dianggap pemborosan, tak logis dan tak layak lagi dijalankan di era kekinian. Era yang konon telah mengalami kemajuan teknologi. Meskipun ada banyak penemuan arkeologi yang menggambarkan kemapanan peradaban. Dengan teknologi yang justru jauh dari jangkauan pemikiran manusia di jaman yang disebut milenial ini.
Perubahan cara pandang hidup dengan seluruh nilai-nilainya telah banyak menghancurkan tatanan sosial.
Apakah itu sebuah keniscayaan ? Tidak, karena ada sistem yang berjalan untuk melakukan dan menjalankan perubahan itu, dan sesungguhnya kita bisa menolaknya.
Akibat pola pikir dan semangat hidup manusianya yang telah berubah dari masyarakat yang berpedoman pada spritualis dan religios dengan falsafahnya Urip Mung Mampir Ngombe, kini berubah menjadi masyarakat yang meterialistik dan kapitalistik, dengan falsafahnya Waktu Adalah Uang, sebuah gerakan sistemik untuk optimalisasi gerakan hasrat liar.
Sehingga manusia nusantara di jaman sekarang, di jaman milenial ini, bisa menjalankan apapun, meskipun itu sebuah tindakan yang tidaklah manusiawi.
Anomali perspektif (cara berpikir dan pemikiran) dan falsafah hidup telah menghasilkan sebuah perubahan bentuk laku yang ekstrem untuk sebuah nilai-nilai kebersamaan dan kamanungsan. Seolah manusia harus berlomba-lomba untuk saling berebut dan berkuasa serta menguasai dalam interaksi sosialnya.
Dan perubahan yang menggradasi tanpa kendali terhadap nilai-nilai, telah menghasilkan anomali berpikir. Nilai-nilai kamanungsan yang dulu sudah tertata rapi dalam tiap jengkal langkah sosial, jika telah semakin pudar dan pelan-pelan tapi pasti keliaran telah dianggap sebagai sebuah kewajaran.
Nashir Ngeblues