EKSPEDISI JEJAK PERADABAN KUNO MALANG RAYA: Ngantang, SEJARAH PERANG GANTER
Desa Tulungrejo, yang terletak di wilayah kecamatan Ngantang, kabupaten Malang, Jawa Timur, menyimpan catatan cerita menarik sejarah peperangan terhebat “Palagan Ganter” dua kerajaan besar di Jawa timur Panjalu Jayati, Kediri di era pemerintahan raja Maharaja Jayabhaya bergelar Sri Maharaja Sang Mapanji Jayabhaya Sri Warmeswara Madhusudana Awataraninditha Suhtrisingha Parakrama Uttunggadewa dengan Tumapel Jayati dengan raja Ken Arok bergelar Sri Ranggah Rajasa sang Amurwabhumi. Dimana pada tarikh Masehi 1.220 sampai dengan 1.222, dua tahun peperangan yang di menangkan oleh Tumapel, Singosari. Seperti yang tertulis di beberapa prasasti yaitu, prasasti Wurandungan atau Kanuruhan/Kanjuruhan B 944 M, prasasti Hantang/Ngantang 1.135 M, prasasti Selobrojo 1.336 Saka atau 1.414 Masehi, dan kitab Pararaton yang bersisi pertempuran di Ganter 1.220 M sampai dengan 1.222 M.
Perang Ganter membentang di kawasan perbukitan di dusun Ganter, dengan kontur perbukitan dan sungai-sungai jernih tapi kecil di bawahnya merupakan kawasan ideal untuk persediakan logistik makan-minum selama peperangan berlangsung dua tahun itu, tidak menutup kemungkinan masih banyak di temukan benda-benda peperangan tersebar seperti keris, tombak, mata panah dari sisa-sisa peperangan dari logam. Seperti yang dikatakan Muhammad Kharis (54) warga dusun Ganter, tanpa sengaja menemukan benda-benda seperti keris, tombak mata panah saat membuka ladang dan berladang kopi. “Benda-benda itu saya simpan sampai sekarang sebagai bukti sejarah di dusun Ganter ini dulunya pernah menjadi peperangan dua kerajaan Panjalu, Kediri dan Tumapel, Singosari,” ujar Kharis singkat.
Selain bukti-bukti arkeologis di atas, kawasan atau area dusun Ganter terdapat peninggalan-peninggalan arkeologi yang tersebar dengan jarak cukup dekat. Seperti yang di terangkan Dwi Cahyono, arkeolog, peninggalan-peninggalan tersebut meliputi situs gunung candi atau candi Gagar, situr Reco Guru/resi Guru, Punden Tugu atau Watu Dakon. “Ini merupakan jejak sejarah yang mungkin lebih tua dari Kediri atau Singosari, lebih tepatnya di era kerajaan Medang Kamulan atau Mataram kuno era mpu Sendok, yang akan memindahkan pusat pemerintahan dari Jawa tengah ke Jawa Timur,” ujar Dwi.
Melihat lebih jauh lagi terdapat peninggalan benteng terdepan kerajaan Tumapel era Ken Arok tepatnya di dusun Ngabab berjarak 4 km dari dusun Ganter masuk wilayah desa Tulungrejo, kecamatan Ngantang dengan nama sekarang situs Watu Gilang, yang berada di tapal wilayah perbatasan kecamatan Pujon dan kecamatan Ngantang, kabupaten Malang. “Bisa jadi dua wilayah pembatas wilayah demarkasi erat kaitannya dengan gunung atau bukit Kukusan sebelah selatan yang membagi wilayah Tumapel, Singosari dan Panjalu, Kediri, namun perang Ganter “Palagan Ganter” terjadi di wilayah demarkasi Panjalu yang berdekatan dengan temuan situs-situs tersebut di atas,” pungkasnya.
Tipologi atau karakter wilayah desa Tulungrejo sendiri terbagi dalam 7 pedukuhan, dusun Ganter, dusun Sayang, dusun Nggagar, dusun Diyo, dusun Tulungrejo, dusun Dewuk dan dusun Jabon. Potensi pada tiap-tiap dusun hampir 90 persen seluruh masyarakat dusun di desa Tulungrejo bermata pencaharian berladang kebun kopi, dengan jenis kopi “Bestak” atau kopi asli Jawa. Sedangkan kopi yang tumbuh subur di dusun Ganter dan sekitarnya, selain kopi Bestak terdapat kopi dengan jenis Azizah dan Jawi, kopi jenis Jawi inilah konon yang merupakan tanaman asli kopi lokal di perbukitan di dusun Ganter yang sudah terkenal akan aroma dan rasa khas kopi pegunungan.
Selain itu ada salah satu dusun yang mempunyai keunikan tersendiri yaitu dusun Sayang, masyarakat mayoritasnya dusun Sayang berladang kopi namun ada minoritas masyarakatnya dusunnya bermata pencaharian pengrajin anyaman bambu untuk kebutuhan rumah tangga, seperti tudung saji, piring bambu, ada juga pembuat perabot rumah tangga dari logam tembaga seperti panci, wajan, dan lain-lain, sekaligus pembuat cobek batu yang konon anti pecah. Memang potensi sumber daya alam di dusun Sayang cukup tersedia bahan baku, seperti bambu jenis Petung, batu alam, biji logam tembaga. Selain potensi sumber daya alam yang melimpah, dusun Ganter memiliki beberapa toponimi tanaman komoditi di era kolonial Belanda seperti tanahan Kina atau “Klenah” sebagai obat anti penyakit demam berdarah – malaria dan Vanili, konon kedua tanaman ini menjadi ikon desa Ganter di era kolonial. Tanaman pohon “Klenah” bisa tumbuh setinggi 12 meter, kulit yang dikelupas pada pohon Klenah, digunakan dengan cara tertentu sebagai obat demam berdarah dan malaria, semakin sering dikelupas pohon Klena akan semakin besar dan tinggi. Namun keberadaan tanaman pohon Klenah mulai langka dan jarang di temui lagi di perbukitan-perbukitan dusun Ganter.
Secara administratif pedukuhan-pedukuhan di desa Tulungrejo seperti di dusun Ganter terbagi 4 wilayah RT, mulai RT 19/RW IX, RT 20/RW IX/, RT 21/RW IX/ dan RT 22/IX, masing-masih RT terdapat 250 kepala keluarga atau KK. Bentangan alam dusun Ganter yang menyerupai mangkuk raksasa dengan dikelilingi bukit-bukit Kars atau batuan kapur ini terbagi menjadi dua wilayah blok barat dan timur, dengan nama Ganter tegalan blok timur dan Ganter krajan blok barat. Bentangan alam hijau dengan perbukitan pernah mengalami bencana alam dahsyat banjir bandang pada tahun 1971. Seperti yang dituturkan mbah Tasrib (84) tokoh masyarakat dusun Ganter.
Pada tahun 1971 banjir bandang pernah menerjang kawasan pemukiman di dusun Ganter yang menyapu puluhan rumah di sepanjang daerah aliran sungai di dusun Ganter, akhirnya masyarakat mendirikan rumah menjauh dari sungai. “Kejadian pada malam hari yang saat itu belum ada penerangan listrik seperti sekarang, puluhan rumah hanyut dan menelan korban jiwa. Di awali dengan hujan lebat terus menerus dan terdengar longsoran tebing tanah di perbukitan sebanyak 13 kali,” ujar pria kelahiran 1936 ini.
Meskipun berusia 84 tahun mbah Tasrib masih giat bekerja setiap hari dengan berkebun kopi seluas 1 hektar miliknya. “Masyarakat yang tinggal menetap dan hidup di dusun Ganter ini semuanya masyarakat pendatang, ada yang dari Pacitan, Tulungagung, Blitar, hanya sedikit mereka yang berasal dari Ngantang. Mereka datang ke dusun Ganter pada tahun 1940, saat itu saya masih berumur 4 tahun, saya sendiri yang asli warga dusun karena kedua orang tua saya asli Ngantang dan berladang kopi di dusun ini turun temurun,” terangnya.
ADAT RUMAH KLAKAH
Konon nama Klakah diberikan pada bangunan rumah yang hampir seratus persen terbuat dari bahan baku bambu jenis Petung atau bambu Jawa. Seperti yang di ungkapkan mbah Tasrib, rumah Klakah atau “bambu yang dibelah”, merupakan rumah awal tempat tinggal warga yang menetap di dusun Ganter, karena melimpahnya bambu jenis Petung warga pendatang memanfaatkan bersama-sama “Gotong royong = Soyo/bahasa Jawa” untuk mendirikan rumah. Konsep rumah Klakah sederhana, tanpa penguat pondasi batang-batang bambu di tancapkan ke tanah. Batang-batang bambu yang sudah berdiri dibuat persegi empat atau persegi panjang kemudian di kembangkan menjadi ruang bidang-ruang bidang menurut selera pemilik rumah.
“Seperti atap rumah terbuat dari belahan-belahan bambu-bambu yang di potong-potong mirip saluran air di tata sedemikian rupa peletakan potongan-potongan bambu diatur atas bawah – atas bawah, dan kemungkinan kecil air hujan bocor. Selain tiang-tiang bambu, bagian ruangan lainnya seperti dinding dari anyaman bambu, tempat tidur juga terbuat dari bambu yang di tanam ke tanah lalu kemudian dibentuk sedemikian rupa menjadi tempat tidur permanen, sekaligus membuat meja makan, almari, dan perabot lainnya dari bambu,” ujarnya. Sayangnya keberadaan rumah “Klalah” sudah tidak dipertahankan lagi karena 3 tahun sekali harus mengganti tiang-tiang bambu yang rapuh dimakan rayap dan bagian-bagian rumah tertentu harus diganti agar tidak roboh.
Keberadaan alas rumah “Klakah” yang hanya tanah, hampir semua warga di dusun Ganter merubah konsep hunian menjadi lebih modern, praktis pada tahun 1968 sudah tidak ada lagi rumah hunian bernama “Klakah”. “Setelah peristiwa Gestapu 1965 dan masuknya listrik di dusun Ganter, semua rumah-rumah Klakah sudah diganti dengan rumah permanen,” pungkasnya.
Penulis : Tri Iwan Widhianto, pemerhati sejarah cagar budaya, pendiri komunitas Satus Repes