Panji Laras Svara, musikalitas kepedulian.
Panji Laras Svara yang beranggotakan Agus Wayan, Safril Firdaus, Joko Tebon, Mohammad, Iwan Dongkel, Zakkizam, Nova Sinden dan Siti Nurvianti. Memiliki musikalitas yang tak diragukan lagi.
Berikut catatan perjalanan Panji Laras Svara di Banyuwangi dalam Konser Mini persembahan Hari Lingkungan Hidup Sedunia.
Ketapang masih basah usai hujan deras kala itu, hampir pukul dua belas malam kami menginjakkan kaki di tanah gandrung Banyuwangi, Selasa 7 Juni 2022. Dijemput oleh kawan – kawan komunitas L300 menggunakan pick – up, kami menuju lokasi dengan diterangi bintang – bintang dan candra bulan setengah purnama. Jalanan semakin menanjak dan udara dini hari begitu segar nan murni, dingin pun menyesap kulit tubuh. Kami disambut tetua desa dan beberapa penggerak Kampung Batara (Kampung Baca Taman Rimba) yang ‘jagongan’ sambil menunggu kedatangan kami. Aroma kopi khas Papring dan teh hangat dengan gula terpisah mengobati rasa dingin ini. Percakapan dimulai dengan komunitas L300; adalah komunitas pick – up yang bertugas mengantar dan menjemput siswa – siswi Papring untuk berangkat sekolah yang jaraknya lumayan jauh dari desanya. Kampung Batara secara mandiri mempunyai armada sekolah yang bisa diakses siapa saja tanpa orang tua pusing mengeluarkan uang transport bagi anak-anaknya.
Kami beristirahat di galeri Kampung Batara dengan bangunan bambu segi 8 yang unik dan sangat berdekatan dengan rumah warga. Belum juga mata terbuka, pagi sudah sibuk di lingkungan Papring. Ketika membuka mata, tersuguhi langit –langit bangunan, seperti mandala terbuat dari anyaman bambu. Suara sapi membangunkan tidur kami yang tak nyenyak. Percakapan warga dengan logat Osing Madura mulai terdengar. Aroma ikan asin tiba – tiba menusuk untuk segera bangun menyantap sarapan pagi. Sayur kelor bening, nasi jagung, tempe goring sambal dan ikan asin adalah hidangan pembuka hari pertama. Sambil bercengkrama dengan warga & anak – anak kami menikmati kopi dan ngudud tentunya. Di saat itulah kami ngobrol tentang bagaimana memperlakukan sampah plastik seperti sachet jajan anak – anak. Joko Tebon pun memberi contoh pada anak – anak bahwa setelah membuka jajan, sampah plastiknya harus dimasukkan botol plastic bekas air mineral. Ditekan – tekan menggunakan tongkat kecil hingga padat. Dikumpulkan hingga banyak, yang akhirnya nanti bisa dijadikan eco-brick atau batu bata yang awet hingga ratusan tahun.
Lingkungan Papring terkenal dengan sentra kerajinan bambu baik berupa cup lampu, besek, tas bambu, kopyah, besek segi panjang, idhik (penjemur tembakau) dan masih banyak lagi. Kami berkunjung ke salah satu rumah warga untuk belajar menganyam bambu menjadi tas untuk kemasan hampers. Kebetulan mereka sedang menggarap tas bambu pesanan pelanggan. Ibu – Ibu Papring telaten mengajari kami yang masih pemula dalam hal menganyam. Keramahan dankepolosan warga desa bisa dirasakan dengan menyuguhkan wedhang dan makan siang seadanya. Masih dengan sayur bening kelor, sambal, tempe dengan terong telunjuk yang rasanya manis. Menjelajah lingkungan Papring tidak akan membuat kami kelaparan.
Selain kami, ada mahasiswa dari Politeknik Banyuwangi yang sedang berkunjung ke Kampung Batara. Di kesempatan itu, mbah Yongki Irawan mengajak mahasiswa berpikir logis tentang permainan tradisional Nyi Putut dan bambu gila. Anak – anak mulai berkumpul dan penasaran dengan permainan itu. Dan mereka mencobanya. Sedangkan di pendopo bambu, Syahrul dari Gubuk Sufi Jabung mengajarkan teknik menari sufi; bagaimana agar tidak pusing untuk berputar. Anak – anak pun sangat antusias dan tertantang untuk mengikutinya.
Pendopo sudah mulai riuh sore itu, anak – anak sedang gladi resik drama tari yang akan dibawakan di pertemuan pengukuhan adat se-Indonesia esok harinya. Mulai nampak warga bergotong royong menyiapkan dekorasi ramah lingkungan dari anyaman bambu, memasang lampu dan persiapan sound sistem. Pemuda Papring juga sibuk menyiapkan café Papringnya. Semua warga mulai dari anak hingga dewasa bergotong royong menyiapkan acara dengan maksimal. Dilanjutkan dengan gladi resik Panji Laras Svara di malam harinya. Masih gladi resik saja, warga sudah antusias berdatangan. Tak bisa menahan, pemuda Papring pun ikut bergoyang saat gladi resik.

Hari kedua, Rabu siang, kami berkesempatan mengikuti kegiatan pertemuan adat se-Indonesia yang dihadiri oleh beberapa perwakilan adat dari berbagai wilayah. Sekolah Adat Kampung Batara menjadi percontohan terkait kurikulum pembelajaran. Salah satunya adalah metode “kahanan” yaitu metode belajar dengan melibatkan kenyataan sehari – hari. Misalnya metode kalistung langsung dipraktikan dengan jual beli di pasar. Uniknya kegiatan pertemuan adat ini dikemas dengan meminimalisir penggunaan plastik sekali pakai. Snack berupa “polo pendem” dikemas dengan besek bambu segi panjang buatan warga disandingkan dengan degan menggunakan sedotan bambu. Makan siang pun disajikan dengan prasmanan dengan hidangan daun kelor, ikan asin krispi khas dan sambal tentunya.

Rampung kegiatan pertemuan, kami sedikit bincang – bincang dengan penggerak Kampung Batara. “Intinya Kampung Batara adalah ruang belajar mengajar dimana semua orang itu guru, alam raya sekolahnya. Pembelajaran apapun bisa dilakukan disini, baik keaksaraan atau literasi, musik & dolanan tradisional,tari, bahasa Osing. Gotong rotong dari semua komunitas di Papring adalah kunci dari berlangsungnya Sekolah Adat Kampung Batara. Dan kami juga sebagai pusat pembelajaran kriya dari bambu dan pengolahan kopi yang melimpah ruah di Papring ” Ujar Widie Nurmahmudy selaku founder Sekolah Adat Kampung Batara.
Panji Laras Svara, kelompok musik dari Malang, sedang melakukan program “Tour 8 Desa” bertajuk konser mini peringatan hari lingkungan hidup sedunia di Sekolah Adat Kampung Batara, kelurahan Papring Kecamatan Kalipuro, Banyuwangi. Kami percaya bahwa kolaborasi adalah media “sambung rasa” baik antar seniman Malang sendiri maupun dengan seniman di lokasi gelaran acara agara semakin guyub rukun. Maka kami mengajak mbah Yogki Irawan dari YoungQ Sanggar Budaya dengan permainan tradisional Nyai Putut dan bambu gila. Turut menggandeng juga Nova Sinden All Genre dari dengan suaranya yang khas untuk berkolaborasi.
Tidak hanya itu, kami juga tidak berkenan anak – anak di kampung Batara hanya menjadi penonton di sekolahnya sendiri. Rancak gamelan Banyuwangi oleh adik – adik seumuran Sekolah Dasar membuka konser ala Papring malam itu. Lanjut dengan penampilan tari buto oleh adik Hendrawan. Kendang kempul pun menggoyang lagu Ole – Olang. Warga Papring kompak menyanyikan lagu yang tak asing di telinga mereka. Disusul dengan tari sufi yang diiringi musik Kuntulan oleh pemuda Papring yang sangat energik. Sedangkan di komposisi Wiwitan, kami menggandeng Slem dengan eksplorasi gerak tubuh berduet dengan mbah Yongki Irawan. Disusul dengan suluk cengkok Banyuwangen.


Paling spesial, Kampung Batara juga merperjumpakan kami dengan Didi Kempotnya Osing, yaitu Yons DD; seorang pemusik senior yang menggandrungi musik etnik dari seluruh dunia. Beliau memainkan pan flute asal Amerika Latin bareng dengan Cuk-nya Udiks Bejo. Antusias warga Papring sangat luar biasa, hingga tengah malam pukul 23.00 mereka masih setia menyaksikan konser merakyat ini. Sebagai pungkasan, lagu Nusantara ditembangkan oleh semua seniman dan semua penonton pun berdiri takzim ikut menyanyikannya. Kang Yon’s DD pun melantunkan puisi tentang Indonesia Raya yang sangat indah ini.
Melaksanakan perjalanan musikal ke Sekolah Adat Kampung Batara memberi kami makna bahwa sejatinya kami bukan guru, justru spirit anak – anak & warga Papring lah yang menjadi guru buat kami untuk terus telaten berkarya dan belajar hidup apa adanya. Semoga konser mini ini menciptakan daya kreatif dan imaginatif yang lebih positif serta menjadi referensi musik yang berbeda dalam benak warga Papring. Pada akhirnya, beribu syukur dan terimakasih mendalam kepada warga Papring yang telah menerima kehadiran kami.
(PanjiLarasSvara)
